Minggu, 08 Mei 2016

Kerajaan Islam di Sulawesi dan Gorontalo



BAB I
PENDAHULUAN



A.   LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
          Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang berlangsung ketika itu. Penyebaran Islam di Nusantara selalu dikaitkan dengan jalur perdagangan. Penyebaran Islam yang dilakukan para pedagang bisa dimungkinkan karena mereka pergi ke berbagai penjuru bumi. Dalam ajaran Islam setiap orang memiliki kewajiban yang sama untuk berdakwah. Setiap Muslim, apapun kedudukan dan profesinya mereka dituntut untuk dapat menyampaikan ajaran Islam walaupun hanya satu ayat al-Quran. Pada perkembangannya memang ada kelompok-kelompok yang secara khusus menjadi penyebar agama. Berikut ini adalah beberapa kerajaan Islam di Sulawesi di antaranya Gowa-Tallo, Bone, Wajo dan Soppeng, dan Kesultanan Buton. Dari sekian banyak kerajaan-kerajaan itu yang terkenal antara lain Kerajaan Gowa-Tallo.
       Yang paling menarik bagi kami dalam penyusunan makalah tentang keraajan Islam di Sulawesi adalah kami sengaja memuat tentang Kerajaan Gorontalo. Berbicara tentang sejarah, Gorontalo saat itu merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Utara, maka kami selaku penyusun sangat termotivasi untk menyusun makalah agar lebih mempelajari dan memahami Kerajaan Islam di Sulawesi terutama Kerajaan Gorontalo.

B.   RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimana latar belakang lahirnya setiap kerajaan Islam di Sulawesi ?
2.    Bagaimana proses masuknya Islam pada kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi ?
3.    Bagaimana pengaruh Islam pada kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Sulawesi ?

C.   TUJUAN PENULISAN
       1.    Memahami latar belakang lahirnya setiap kerajaan Islam di Sulawesi.
       2.    Mempelajari proses masuknya Islam pada kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi.
       3.    Mengetahui pengaruh Islam pada kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi

D.   MANFAAT PENULISAN
       Adapun manfaat penulisan tentang Kerajaan Islam di Sulawesi karena Sulawesi merupakan wilayah tempat tinggal sendiri sehingga sangat perlu mengetahui, mempelajari dan memahami sejarah kerajaan Islam yang berada di Sulawesi khususnya yang paling menarik adalah kerajaan Islam di Gorontalo itu sendiri.


BAB II
PEMBAHASAN

LATAR BELAKANG, PROSES MASUKNYA ISLAM DAN PENGARUH ISLAM PADA KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI

A.   Kerajaan Gowa
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Gowa
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat Kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari para pendahulu di Gowa mengatakan bahwa Tumanurung merupakan pendiri Kerajaan Gowa pada awal abad ke-14.
       Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi bagian selatan. Wilayah kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh Kesultanan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa (dinasti) Suku Bugis dengan rajanya, Arung Palakka. Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya pada abad ke-17.
2.    Proses Masuknya Islam di Kerajaan Gowa
       Tome Pires (1512-1515 Masehi) ketika melakukan perjalanan ke Malaka pada tahun 1513 menceritakan bahwa orang-orang Makassar sudah berdagang hingga ke Malaka, Kalimantan, Jawa, Borneo, dan juga hampir semua tempat yang berada di antara Pahang dan Siam. Tome Pires juga mengatakan bahwa penguasa di daerah itu yang menguasai lebih dari 50 negeri masih menganut agama yang bukan islam.
Baik sumber-sumber asing maupun sumber naskah-naskah kuno menyatakan bahwa kehadiran agama islam di Sulawesi sudah ada sebelum Tome Pires datang. Tome Pires mungkin sekali menitikberatkan beritanya itu pada kerajaan Gowa dan Tallo yang memang baru memeluk islam sebagai agama resmi kerajaan pada awal abad ke-17 Masehi.
Sekalipun para pedagang Muslim sudah berada di Sulawesi Selatan sejak akhir Abad XV, tidak diperoleh keterangan secara pasti, baik dari sumber lokal maupun sumber dari luar, tentang terjadinya konversi ke dalam Islam oleh salah seorang raja setempat pada masa itu, sebagaimana yang terjadi pada agama Katolik.
       Agaknya inilah yang menjadi faktor pendorong para pedagang melayu mengundang tiga orang mubalig dari Koto Tangah (Kota Tengah) Minangkabau ke Makassar untuk mengislamkan elit Kerajaan Gowa-Tallo. Inisiatif untuk mendatangkan mubalig khusus ke Makassar sudah ada sejak Anakkodah Bonang (Nahkodah Bonang). Ia adalah seorang ulama dari Minangkabau sekaligus pedagang yang berada di Gowa pada pertengahan Abad XVI (1525).
Keberhasilan penyebaran Islam terjadi setelah memasuki awal Abad XVII dengan kehadiran tiga orang mubalig yang bergelar datuk dari Minangkabau. Lontara Wajo  menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan Abad XVII dari Koto Tangah, Minangkabau. Mereka dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu :
1.    Abdul Makmur, Khatib Tunggal, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang;
2.    Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Datuk Patimang;
3.    Abdul Jawad, Khatib Bungsu, yang lebih dikenal dengan nama Datuk ri Tiro.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Gowa
       Sebagai negara maritim, maka sebagian besar masyarakat Gowa adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya. Walaupun masyarakat Gowa memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut Pangadakkang. Dan masyarakat Gowa sangat percaya dan taat terhadap norma-norma tersebut.
       Di samping norma tersebut, masyarakat Gowa juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan Anakarung atau Karaeng, sedangkan rakyat kebanyakan disebut to Maradeka dan masyarakat lapisan bawah disebut dengan golongan Ata.
       Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Gowa banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Gowa dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo. Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Sulawesi Selatan dan terkenal hingga mancanegara.



B.   Kesultanan Buton
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Buton
Kesultanan Buton terletak di Kepulauan Buton (Kepulauan Sulawesi Tenggara) Provinsi Sulawesi tenggara, di bagian tenggara Pulau Sulawesi . Pada zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang bernama kerajaan Buton dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton. Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.
       Mpu Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton di dalam bukunya, Kakawin Nagarakretagama. Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa Kerajaan Bone di Sulawesi lebih dulu menerima agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang yang berasal dari Minangkabau sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton, yaitu pada tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae Sangia i-Gola dan baginda langsung memeluk agama Islam. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil mengislamkan Raja Buton yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.
       Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimana pun masih banyak pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Oleh itu dalam artikel ini dirasakan perlu dikemukakan beberapa perbandingan. Dalam masa yang sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al- Fathani, diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kulisusu), salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya beragama Islam.
      


2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Buton
       Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian dia sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk dalam pemerintahan Buton.
       Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M.
       Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena sumber lain menyebutkan bahwa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Buton pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus yaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.
       Dalam riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru dia yang sengaja didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Buton
       Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil nilai-nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat baru yang dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri. Berbagai kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat Buton. Berbagai kebudayaan tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya mereka. Kelompok yang berasal dari Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok yang berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa Majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa tersebut memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena perdagangan rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat mempermudah akses dalam memperolah dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau Jawa. Beberapa peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan yang terdapat di Jawa.
       Imam-imam yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan keturunan Arab. Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh masyarakat Buton dan dipercaya sebagai pemimpin di dalam bidang agama. Berbagai suku dan adat tersebut mampu bersatu secara baik di dalam kerajaan/kesultanan Buton. Apabila kita melihat kerajaan/kesultanan lain, perbedaan itu seringkali memunculkan konflik yang berujung kepada perang saudara, bahkan perang agama. Sedangkan di Buton sendiri tercatat tidak pernah terjadi perang antara satu kelompok dengan kelompok lain, terutama bila menyangkut masalah suku dan agama.



C.   Kesultanan Bone
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Bone
Kesultanan Bone atau sering pula dikenal dengan Akkarungeng ri Bone, merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi Selatan sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600 km2.
       Terbentuknya kerajaan Bone dimulai dengan kedatangan Tomanurung ri Matajang MatasilompoE yang mempersatukan 7 komunitas yang dipimpin oleh Matoa. Manurung ri Matajang menikah dengan Manurung ri Toro melahirkan La Ummasa Petta Panre Bessie sebagai Arumpone kedua. Saudara perempuannya menikah dengan La Pattikkeng Arung Palakka yang melahirkan La Saliyu Karampelua sebagai Arumpone ketiga.Di masanya, kerajaan Bone semakin luas berkat keberaniannya.
       Perluasan kerajaan Bone ke utara bertemu dengan kerajaan Luwu yang berkedudukan di Cenrana, muara sungai WalennaE. Terjadi perang antara Arumpone La Tenrisukki dengan Datu Luwu Dewaraja yang berakhir dengan kemenangan Bone dan Perjanjian Damai Polo MalelaE ri Unynyi. Dinamika politik militer diera itu kemudian ditanggapi dengan usulan penasehat kerajaan yaitu Kajao Laliddong pada Arumpone La Tenrirawe BongkangngE yaitu dengan membangun koalisi dengan tetangganya yaitu Wajo dan Soppeng. Koalisi itu dikenal dengan Perjanjian TellumpoccoE.
       Ratu Bone, We Tenrituppu adalah pemimpin Bone pertama yang masuk Islam. Namun Islam diterima secara resmi dimasa Arumpone La Tenripale Matinroe ri Tallo Arumpone keduabelas. Sebelumnya yaitu La Tenrirua telah menerima Islam namun ditolak oleh hadat Bone yang disebut Ade Pitue sehingga dia hijrah ke Bantaeng dan meninggal disana. Ketika Islam diterima secara resmi, maka susunan hadat Bone berubah. Ditambahkan jabatan Parewa Sara (Pejabat Syariat) yaitu Petta KaliE (Qadhi). Namun, posisi Bissu kerajaan tetap dipertahankan.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Bone
       Para pelaut pedagang Bugis dan Makassar sudah berhubungan dengan agama islam jauh sebelum islam masuk ke Sulawesi selatan. Mereka berhubungan dengan Masyarakat dagang yang kebanyakan Islam di daerah pantai utara dan barat jawa serta sepanjang Selat Malaka, dan dengan Ternate DI Maluku (yang mengadakan perjanjian persahabatan Kerajaan Gowa). Suatu masyarakat Melayu Islam telah bermukim di Kota Makassar sejak pertengahan abad keenam belas, dan Raja Goa menyambut kehadiran mereka dengan membangun sebuah masjid untuk mereka. Tetapi, daerah itu diislamkan setelah Raja Gowa sendiri beserta para penasihat terdekatnya memeluk agama Islam pada tahun 1605.
       Penyebaran islam berawal ketika tiga orang ulama tiba di Makassar pada akhir abad ke-16. Mereka adalah orang Minangkabau dari Kota Tengah, Sumatera Barat, tempat kelahiran sejumlah orang Islam Makassar, dan anggota dari Perhimpunan Chalawatijah di Indonesia yang beraliran sufi ortodoks. Para ulama ini berjasa dalam menyiarkan agama islam kepada Raja Gowa beserta paman dan penasihatnya dan raja dari Kerajaan Tallo. Sejak saat itu perkembangan Islam berjalan sangat pesat.
       Setelah menganut agama Islam, Raja Gowa mengeluarkan seruan kepada para penguasa kerajaan lain agar menerima agama Islam. Seruan itu dikatakan telah didasarkan atas persetujuan terdahulu, bahwa setiap penguasa yang menemukan suatu jalan baru, dan lebih baik, berkewajiban memberi tahu para penguasa lainnya mengenai penemuannya tersebut. Tetapi hanya kerajaan-kerajaan kecil yang memberi tanggapan positif. Dan Gowa, yang khawatir akan diperbaharuinya persekutuan Bone, Wajo, dan Soppeng terhadapnya, menyatakan perang suci terhadap lawan-lawan lamanya. Kerajaan-kerajaan yang keras itu ditaklukkan, Soppeng pada tahun 1609, Wajo tahun 1610 dan Bone tahun 1611 dan dinyatakan masuk Islam. Hanyalah daerah-daerah pegunungan yang terpencil khususnya daerah Toraja di daerah pedalaman tengah dan daerah Bawakaraeng dan Lompobattang tetap di luar lingkup Islam.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Bone
       Pada tahun 1910 Bone secara resmi masuk Islam, pada masa pemerintahan Raja Bone XIII yaitu La Madderemueng (1631-1644) mulailah Kerajaan Bone berbenah diri dengan melaksanakan hukum Islam ke dalam lembaga tradisi Bone. Selain itu juga mencanangkan pembaharuan keagamaan, serta memerintahkan kawulanya untuk mematuhi ajaran hukum Islam secara total dan menyeluruh.
       Setelah itu, pada saat Islam masuk ke dalam struktur pemerintahan sebagai satu bagian yang menangani syariat Islam (Parewa Sara). Tugas raja dalam pengembangan agama Islam beralih kepada para pejabat sara atau Parewa Sara.
       Dengan diterimanya Islam dan dijadikannya syariat Islam sebagai bagian dari pangngadereng, maka pranata-pranata sosial masyarakat Bone mendapatkan warna baru. Ketaatan mereka terhadap pangngadereng sama dengan ketaatannya terhadap syariat Islam.
       Hal ini dikarenakan oleh penerimaan mereka terhadap Islam tidak banyak merubah nilai-nilai, kaidah kemasyarakatan dan kebudayaan yang telah ada. Apa yang dibawa oleh Islam hanyalah urusan ubudiyah (ibadah) tanpa mengubah lembaga-lembaga dalam kehidupan masyarakat yang ada (pangngadereng).
       Islam mengisi sesuatu dari aspek kultural dan sendi-sendi kehidupan mereka. Nilai-nilai kesusilaan yang bertujuan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia diselaraskan dengan konsep siri yang begitu dijunjung tinggi oleh orang Bugis. Dengan jalan itu proses sosialisasi dan enkulturasi Islam masuk dalam kebudayaan orang Bone.



C.   Kerajaan Banggai
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Banggai
Sekitar abad ke-13, masa pada masa keemasan kerajaan Singosari yang berpusat di jawa Timur, ketika itu Singosari di bawah kekuasan terakhir dan terbesar yaitu Kertanegara ( 1268-1292 ), nama Banggai telah di kenal dan menjadi bagian kerajaan Singaosari. Berikutnya, sekitar abad 13-14 Masehi pada masa kerajaan Mojopahit yang juga berpusat di Jawa Timur, ketika tampuk pemerintahan di pegang raja terbesar Mojopahit bernama Hayam Wuruk ( 1351-1389 ) saat itu kerajaan Banggai sudah dikenal dengan sebutan "BENGGAWI" dan menjadi bagian kerajaan Mojopahit.
       Bukti bahwa kaerajaan Banggai sudah di kenal sejak zaman Mojopahit dengan nama Benggawi setidaknya dapat di lihat dari apa yang telah di tulis seorang pujangga Mojopahit yang bernama Mpu Prapanca dalam bukunya "Negara Kartagama" buku bertarikh caka 1478 atau tahun 1365 Masehi, yang dimuat dalam seuntai syair nomor 14 bait kelima sebagai berikut "Ikang Saka Nusa-Nusa Mangkasara, Buntun Benggawi, Kuni, Galiayo, Murang Ling.
       Wilayah Kerajaan Banggai pada tahun 1950-an hanya meliputi Pulau Banggai, kemudian diperluas sampai ke Banggai Darat, hingga ke Tanjung Api, Sungai Bangka dan Togung Sagu yang terletak di sebelah Selatan Kecamatan Batui. Perluasan wilayah Kerajaan Banggai dilakukan oleh Adi Cokro yang bergelar Mumbu Doi Jawa pada abad ke-16. Istilah " Mumbu Doi" berarti yang wafat atau mangkat, khusus dipakai untuk raja-raja Banggai yang tertinggi derajatnya.
Adi Cokro adalah bangsawan dari Pulau Jawa yang mengabdikan diri kepada Sultan Baab-Ullah dari Ternate. Di tangan Adi Cokro kerajaan-kerajaan Banggai mampu dipersatukan hingga akhirnya ia dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banggai.
      


2.    Proses Masuknya Islam di Kerajaan Banggai
       Awal mula kedatang Adi Saka ini untuk menyebarkan agama Islam ialah di kerajaan buko, sekitar awal abad ke VII. pada saat itu Kerajaan Buko dipimpin oleh basalo, dan basalo buko sendiri menyambut Adi Saka dengan baik karna beliau sendiri menikahkan putrinya denga Adi Saka. dari pernikahan ini Adi Saka di karuniai seorang putra yang namanya lebih dikenal oleh masyaraka buko dengan julukan Tomundo Daalu. untuk peninggalan basalo buko ialah berupa benteng yang didirakan dari batu karang letaknya di dekat laut seputar desa buko. berhubung kerajaan bulagi berdekatan dengan kerajaan buko maka kabar Adi Saka yang hadir membawa Agama baru tersebar sampai kepada basalo bulagi. setelah mempelajari agama baru tersebut akhirnya Basalo Bulagi pun mengikuti agama baru tersebut yaitu agama Islam, masuk islamnya basalo bulagi ini dapat dilihat dari julukan yang diberikan padanya yaitu "Basalo Salaup" (artinya: Basalo yang sering  sujud), dikemudian hari putri dari basalo salaup ini yang menjadi istri dari Fuadin putra pertama Adi Saka dari istri keduanya, hasil pernikahan dari anak basalo dikerajaan yg terletak pada pulau bollukan/banggai.
       Tinggal beberapa waktu di kerajaan buko akhirnya Adi Saka pun berangkat menyebarkan Islam ke pulau bollukan/ banggai yang cikal bakal jadi pusat kerajaan banggai, sesampai di pulau bollukon beliu pun disambut baik oleh basalo bollukon, serta Adi Saka sendiri pun dinikahkan dengan putri Yadamin yaitu putri dari basalo bollukan tersebut. dari pernikahan ini, beliau dikaruniai dua orang putra yaitu Fuadin dan Tomundo Sabol/ Adi Sabol, setelah itu Adi Saka juga menikah dengan Putri Basalo Bokan dan dan Putri Basalo Tompotika, untuk pernikahan dengan Putri Basalo Bokan Adi Saka Dikaruniai seorang Putri, namun untuk istri dari Putri Basalo Tompotika tidak dikaruniai keturunan. dengan alasan pernikahan inilah akhirnya kerajaan-kerajaan kecil itu dapat disatukan dibawah kekuasaan Adi Saka dan berpusat di pulau bollukan, yang oleh Adi Saka sendiri pulau bollukan diganti namanya menjadi Banggai. selanjutnya raja-raja dari keturunan Adi Saka menggunakan gelar ADI. namun situs makam untuk Adi Saka sendiri tidak terdapat di banggai karna beliau berangkat ke tanah Jawa dan menikah dengan putri seorang Raja Jawa dengan dikaruniai seorang Putri yang diberi nama Putri Endang.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Banggai
       Pengaruh agama dan juga budaya Islam pada kerajaan-kerajaan di Sulawesi sangat besar pengaruhnya terutama pada abad ke-16 dan seterunya. Perkembangan agama Islam di Sulawesi khususnya di Wilayah Sulawesi Tengah merupakan dampak dari perluasan yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah Sulawesi Selatan. Pengaruh ini mula-mula mungkin berasal dari Kerajaan Bone dan Wajo daerah-daerah yang mendapat pengaruh Islam pertama kali besar kemungkinan adalah daerah-daerah di pesisir.
       Tome Pires dalam bukunya yang berjudul Suma Oriental mengatakan bahwa di zamannya itu sebagian besar raja-raja yang ada Nusantara sudah beragama Islam, akan tetapi masih tetap ada daerah-daerah atau negeri yang belum menganut agama Isalam di Nusantara. Penyebaran agama Islam di lakukan di daerah-daerah pesisir pantai para pedangang- pedangang muslim dari Gujarat (Persia) dan para pedangang tersebut menikah dengan masyarakat setempat dan terjadilah percampuran kepercayaan.
       Selanjutnya di Indonesia bagian timur agama Islam tiba dan berkembang di “kepulaun rempah-rempah” Maluku Indonesia Timur. Para pedangang muslim dari Jawa dan Melayu menetap di pesisir Banda, tetapi tidak ada seorang raja pun disana, dan daerah pedalaman masih di huni oleh penduduk nonmuslim. Ternate, Tidore, dan Bacan mempunyai raja-raja muslim. Penguasa-penguasa Tidore dan Bacan memekai gelar “Raja”, tetapi penguasa Ternate telah menggunakan gelar “Sultan”, dan raja Tidore bernama Arab, al-Mansur.
       Pengaruh kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan tidak hanya pada perubahan pada sistem kepercayaan, Islam bahkan mempengaruhi pada bentuk pemerintahan. Tata struktur pemerintahan kerajaan di Sulawesi Tengah kemudian terbagi mengikuti susuan pemerintahan Kerajaan Bone dan juga Kerajaan Wajo, yaitu bentuk Pitunggota dan Patanggota.
Pitunggota merupakan sebuah lembaga yang terdiri dari 7 anggota yang dipimpin oleh seorang Baligau. Sedangkan Patanggota terdiri dari Baiya, Lambara, Mpanau, dan Mupabomba.
       Pangaruh lainnya datang dari Wilayah Mandar. Beberapa kerajaan yang berada di Teluk Tomini ditelusuri berasal dari daerah Mandar yang cukup mencolok adalah penggunaan istilah “raja”. Sebelumnya di Teluk Tomini gelar Raja ini lebih dikenal dengan istilah Olongian, sebutan untuk tuan-tuan tanah yang berkuasa di daerahnya masing-masing.
Kerajaan-kerajaan yang berada di Teluk Tomini juga mendapat pengaruh dari Kerajaan-kerajaan Gorontalo dan Ternate terutama struktur pemerintahannya meliputi pembagian dan wilayah kekuasaanya seperti Kepala Negara (Olongian), Perdana Mentri  (Jogugu), Mentri Pertahanan laut (Kapitan Laut), Mentri Keuangan (Walaapulu), Mentri Perhubungan (Ukum), dan Mentri Penerangan (Madinu).

C.   Kerajaan Gorontalo
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Gorontalo
Pada mulanya (abad ke-12) Kerajaan Gorontalo terdapat 17 kerajaan kecil-kecil yang berkedudukan di kaki/lereng gunung.
Ke-17 kerajaan tersebut antara lain sebagai berikut :
a.         Kerajaan Hunginaa, Rajanya: Lihawa
b.        Kerajaan Lupoyo, Rajanya: Pai
c.         Kerajaan Bilinggata, Rajanya: Lou
d.        Kerajaan Wuwabu, Rajanya: Wahumolongo
e.         Kerajaan Biawu, Rajanya: Wolango Huladu
f.         Kerajaan Padengo, Rajanya: Palanggo
g.        Kerajaan Huwangobotu Olowala, Rajanya: Dawanggi
h.        Kerajaan Tapa, Rajanya: Deyilohiyo Daa
i.          Kerajaan Lauwonu, Rajanya: Bongohulawa (Perempuan)
j.          Kerajaan Toto, Rajanya: Tilopalani (Perempuan)
k.        Kerajaan Dumati, Rajanya: Buata
l.          Kerajaan Ilotidea, Rajanya: Tamau
m.      Kerajaan Pantungo, Rajanya: Ngobuto
n.        Kerajaan Panggulo, Rajanya: Hungiyelo
o.        Kerajaan Huangobotu Oloyihi, Rajanya: Lealini
p.        Kerajaan Tamboo, Rajanya: Dayilombuto (Perempuan)
q.        Kerajaan Hulontalangi, Rajanya: Humalanggi
       Sebelum masa penjajahan daerah Gorontalo berbentuk kerajaan-kerajaan yang diatur menurut hukum adat ketatanegaraan Gorontalo dan tergabung dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut "Pohala'a". Menurut Haga (1931) daerah Gorontalo ada lima pohala'a :
a.         Pohala'a Gorontalo
b.        Pohala'a Limboto
c.         Pohala'a Suwawa
d.        Pohala'a Boalemo
e.         Pohala'a Atinggola
       Dengan hukum adat itu maka Gorontalo termasuk 19 wilayah adat di Indonesia. Antara agama dengan adat di Gorontalo menyatu dengan istilah "Adat bersendikan Syara' dan Syara' bersendikan Kitabullah". Pohalaa Gorontalo merupakan pohalaa yang paling menonjol diantara kelima pohalaa tersebut. Itulah sebabnya Gorontalo lebih banyak dikenal.
       Sebelum islam masuk ke Gorontalo, nilai budaya yang dianut kerajaan gorontalo adalah yang berbasiskan pandangan harmoni dengan mengambil pelajaran yang ditunjukkan oleh alam. Ini berarti penduduknya menganut kepercayaan animisme.
2.    Proses Masuknya Islam di Kerajaan Gorontalo
       Islam dibawa oleh sang raja saat itu, Raja Amai,"
Islam kala itu masuk melalui jalur perkawinan. Raja Amai menikahi putri dari kerajaan Palasa, bernama Owutango. Kerajaan Palasa ini berada di Teluk Tomini dan rajanya sudah Islam. Sang putri sendiri punya hubungan keluarga dengan pihak kerajaan di Ternate, yang telah lebih dahulu mengenal Islam.
       Sebelum berdiri kerajaan Islam, di Gorontalo ada banyak kerajaan-kerajaan kecil. Hingga pada 1385, sejumlah 17 kerajaan kecil tersebut sepakat membentuk sebuah serikat kerajaan. Diangkatlah Maharaja Ilahudu untuk memimpin serikat kerajaan yang disebut dengan Kerajaan Hulondalo.
       Menyebut Hulondalo, berarti sama artinya dengan Gorontalo. Hulondalo berasal dari kata Hulonthalangi dari istilah Huta Langi-langi, yang dalam bahasa setempat artinya genangan air. Orang Belanda menyebutnya dengan Holontalo, yang apabila ditulis dalam abjad latin menjadi Gorontalo.
       Nilai budaya yang dianut adalah yang berbasiskan pandangan harmoni dengan mengambil pelajaran yang ditunjukkan oleh alam. Ini berarti penduduknya menganut kepercayaan animisme. Kemudian, Islam mulai masuk ke Gorontalo.
3.    Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Gorontalo
         Gorontalo terbentuk kurang lebih 400 tahun lalu dan merupakan salah satu kota tua di Sulawesi selain Kota Makassar, Pare-pare dan Manado. Gorontalo pada saat itu menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Indonesia Timur yaitu dari Ternate, Gorontalo dan Bone. Seiring dengan penyebaran agama tersebut Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan oleh masyarakat di wilayah sekitar seperti Bolaang Mongondow (Sulut), Buol Toli-Toli, Luwuk Banggai, Donggala (Sulteng) bahkan sampai ke Sulawesi Tenggara. Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan karena letaknya yang strategis menghadap Teluk Tomini (bagian selatan) dan Laut Sulawesi (bagian utara).
       Kerajaan Gorontalo mulanya berada di Kelurahan Hulawa Kecamatan Telaga sekarang, tepatnya di pinggiran sungai Bolango. Menurut Penelitian, pada tahun 1024 H, kota Kerajaan ini dipindahkan dari Keluruhan Hulawa ke Dungingi Kelurahan Tuladenggi Kecamatan Kota Barat sekarang. Kemudian dimasa Pemerintahan Sultan Botutihe kota Kerajaan ini dipindahkan dari Dungingi di pinggiran sungai Bolango, ke satu lokasi yang terletak antara dua kelurahan yaitu Kelurahan Biawao dan Kelurahan Limba B. Dengan letaknya yang stategis yang menjadi pusat pendidikan dan perdagangan serta penyebaran agama islam maka pengaruh Gorontalo sangat besar pada wilayah sekitar, bahkan menjadi pusat pemerintahan yang disebut dengan Kepala Daerah Sulawesi Utara Afdeling Gorontalo yang meliputi Gorontalo dan wilayah sekitarnya seperti Buol Toli Toli dan, Donggala dan Bolaang Mongondow.


BAB III
PENUTUP



A.   KESIMPULAN
       Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang berlangsung ketika itu. Penyebaran Islam di Nusantara selalu dikaitkan dengan jalur perdagangan. Penyebaran Islam yang dilakukan para pedagang bisa dimungkinkan karena mereka pergi ke berbagai penjuru bumi. Dalam ajaran Islam setiap orang memiliki kewajiban yang sama untuk berdakwah. Setiap Muslim, apapun kedudukan dan profesinya mereka dituntut untuk dapat menyampaikan ajaran Islam walaupun hanya satu ayat Al-Quran.
       Adapun kerajaan-kerajaan Islam yang berada di Sulawesi adalah sebagai berikut :
1.      Kerajaan Gowa
2.      Kesultanan Buton
3.      Kesultanan Bone
4.      Kerajaan Banggai
5.      Kerajaan Gorontalo

B.   SARAN
       Sekarang ini, adat istiadat di tiap-tiap daerah semakin lama semakin luntur, padahal salah satu penyebaran agama Islam melalui perilaku adat istiadat, karena adat istiadat memiliki pesan moral dan nilai-nilai agama.
       Di Gorontalo sendiri, adat istiadat sebagai pemersatu Pohala’a-Pohala’a di Gorontalo semakin lama semakin diabaikan. Perkataan orang-orang tua pada saat itu sangat menyentuh hati karena seperti syair yang mengandung nilai pendidikan yang sangat mendalam. Bahkan pesan-pesan Islami terkadang melalui syair dan mampu membuat orang mencerna atau memahami maksud dan tujuan serta nilai agama.