Minggu, 08 Mei 2016

Kerajaan Islam di Sumatera



BAB I
PENDAHULUAN



A.   LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
       Sejak awal kedatangannya, pulau  Sumatera  termasuk  daerah pertama dan  terpenting  dalam  pengembangan agama   Islam di Indonesia.   Dikatakan   demikian   mengingat  letak  Sumatra   yang strategis  dan berhadapan langsung  dengan jalur perdangan dunia, yakni Selat Malaka.
       Yang sangat menarik bagi kami sebagai penyusun adalah Aceh yang dijuluki Serambi Mekah. Kami yakin bahwa julukan Serambi Mekah tersebut tidak lepas dari latar belakang sejarahnya.

B.   RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimana latar belakang lahirnya setiap kerajaan Islam di Sumatera ?
2.    Bagaimana proses masuknya Islam pada kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera ?
3.    Bagaimana pengaruh Islam pada kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Sumatera ?

C.   TUJUAN PENULISAN
       1.    Memahami latar belakang lahirnya setiap kerajaan Islam di Sumatera.
       2.    Mempelajari proses masuknya Islam pada kerajaan-keraajn Islam di Sumatera.
       3.    Mengetahui pengaruh Islam pada kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera

D.   MANFAAT PENULISAN
       Bekerja tanpa tujuan dan tujuan yang tidak bermanfaat merupakan aktivitas yang sia-sia. Kami selaku penyusun makalah ini bukan sekedar disusun, dibaca, atau sekedar penyelesaian tugas, namun perlu menganalisisnya.
BAB II
PEMBAHASAN

LATAR BELAKANG, PROSES MASUKNYA ISLAM DAN PENGARUH ISLAM PADA KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA

A.   Kerajaan Jeumpa
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Jeumpa
Kerajaan Jeumpa adalah sebuah kerajaan yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur pada sekitar abad ke VIII Masehi. Hal ini berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang ditulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari Hikayat Radja Jeumpa.
       Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pinto Ubeut. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke Pinto Rayek (pintu besar).
       2.    Proses Masuknya Islam di Kerajaan Jeumpa
       Sebelum kedatangan Islam, di daerah Jeumpa sudah berdiri sebuah kerajaan Hindu yang dipimpin turun temurun oleh seorang meurah. Pada saat itu kerajaan ini sudah dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lain-lain. Pada awal abad VIII seorang pemuda bernama Abdullah dari India belakang memasuki pusat kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga melalui Kuala Jeumpa dengan tujuan berdagang.
       Abdullah kemudian tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tertarik dengan perilakunya. Abdullah kemudian dinikahkan dengan puteri raja bernama Ratna Kumala. Di kemudian hari Abdullah dinobatkan menjadi raja menggantikan bapak mertuanya, yang kemudian wilayah kekuasaannya dia berikan nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di India Belakang (Persia) yang bernama Champia, yang artinya harum, wangi dan semerbak. Sementara Bireuen sebagai ibukotanya, berarti kemenangan.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Jeumpa
       Berdasarkan silsilah keturunan sultan-sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa pada 154 H atau tahun 777 M dipimpin oleh seorang pangeran dari Persia yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seuludong (Dialek Bireuen: Manyam Seuludang) dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Duli, Syahri Tanti, Syahri Nawi, Syahri Dito dan Puteri Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari sultan pertama Kerajaan Islam Perlak. Menurut penelitian sejarawan Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar meurah, habib, sayyid, syarif, sunan, teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahri Banun, anak Maha Raja Persia terakhir. Syahr Nawi adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan Kerajaan Peureulak, bahkan dia dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Peureulak pada tahun 805 M yang dipimpinnya langsung, dan diserahkan kepada anak saudaranya Maulana Abdul Aziz.
       Keberadaan Kerajaan Islam Jeumpa ini dapat pula ditelusuri dari pembentukan Kerajaan Perlak yang dianggap sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara. Perlak pada tahun 805 Masehi adalah bandar pelabuhan yang dikuasai pedagang keturunan Parsi yang dipimpin seorang keturunan Raja Islam Jeumpa Pangeran Salman al-Parsi dengan Putri Manyang Seuludong bernama Meurah Syahr Nuwi. Sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman menjadi tempat persinggahan kapal dagang Muslim Arab dan Persia. Akibatnya masyarakat muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah. Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747.

B.   Kesultanan Peureulak
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Peureulak
Kesultanan Peureulak adalah kerajaan Islam di Indonesia yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang antara tahun 840 sampai dengan tahun 1292. Perlak atau Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
      

2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Peureulak
       Naskah Hikayat Aceh mengungkapkan bahwa penyebaran Islam di bagian utara Sumatera dilakukan oleh seorang ulama Arab yang bernama Syaikh Abdullah Arif pada tahun 506 H atau 1112 M. Lalu berdirilah kesultanan Peureulak dengan sultannya yang pertama Alauddin Syah yang memerintah tahun 520–544 H atau 1161–1186 M. Sultan yang telah ditemukan makamnya adalah Sulaiman bin Abdullah yang wafat tahun 608 H atau 1211 M
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Peureulak
       Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah, yang beraliran Syiah dan merupakan keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M). Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh Timur.
       Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah, aliran Sunni mulai masuk ke Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan.

C.   Kesultanan Samudera Pasai
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Samudera Pasai
Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.
       Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah. Namun beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan dari Hikayat Raja-raja Pasai, dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.
       Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345. Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521.
2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Samudera Pasai
       Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Pasai, walau pengaruh Hindu dan Buddha juga turut mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires, telah membandingkan dan menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip dengan Malaka, seperti bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian. Kemungkinan kesamaan ini memudahkan penerimaan Islam di Malaka dan hubungan yang akrab ini dipererat oleh adanya pernikahan antara putri Pasai dengan raja Malaka sebagaimana diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Samudera Pasai
       Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai, seiring dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah, kemudian menceritakan bahwa sultan di negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.

D.   Kesultanan Lamuri
       1.    Latar Belakang Lahirnya Lamuri
Kesultanan Lamuri adalah nama sebuah kerajaan yang terletak di daerah kabupaten Aceh Besar dengan pusatnya di Lam Reh, kecamatan Mesjid Raya. Kerajaan ini adalah kerajaan yang lebih dahulu muncul sebelum berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam, dan merupakan cikal bakal kesultanan tersebut.
       Sumber asing menyebut nama kerajaan yang mendahului Aceh yaitu "Lamuri", "Ramni", "Lambri", "Lan-li", "Lan-wu-li". Penulis Tionghoa Zhao Rugua (1225) misalnya mengatakan bahwa "Lan-wu-li" setiap tahun mengirim upeti ke "San-fo-chi" (Sriwijaya). Nagarakertagama (1365) menyebut "Lamuri" di antara daerah yang oleh Majapahit diaku sebagai bawahannya. Dalam Suma Oriental-nya, penulis Portugis Tomé Pires mencatat bahwa Lamuri tunduk kepada raja Aceh.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Lamuri
       Beberapa generasi Liang Khie telah menguasai negeri Seudu/Panton Bie (Cantoli), di antaranya yang terkenal adalah Putri Nian Nio Liang Khie (Putroe Neng). Pada masa Putroe Neng berkuasa, ia melakukan penyerangan ke Lamuri yang saat itu diperintah oleh Maharaja Indra Sakti.
       Pada masa itulah datang ke Lamuri rombongan Syeh Abdullah Kan'an yang dikenal sebagai Teungku Lampeu'neuen atau Syiah Hudan, yang membawa ajaran Islam ke daerah tersebut. Syeh berangkat bersama rombongan dari Bayeuen (Peureulak) yang merupakan murid dari Dayah Cot Kala. Atas izin Maharaja Indra Sakti, rombongan mubaligh itu menetap di daerah Mampreh.
       Sumber lain menjelaskan Kesultanan Lamuri merupakan tempat pertama kali yang disinggahi oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut yang datang dari India dan Arab. Ajaran Islam telah dibawa sekaligus oleh para pendatang tersebut. Berdasarkan analisis W. P. Groeneveldt, pada tahun 1416 M semua rakyat di Kesultanan Lamuri telah memeluk Islam. Menurut sebuah historiografi Hikayat Melayu, Kesultanan Lamiri (maksudnya adalah Lamuri) merupakan daerah kedua di Pulau Sumatera yang di islamkan oleh Syaikh Ismail sebelum ia mengislamkan Kesultanan Samudera Pasai. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Kesultanan Lamuri jelas merupakan salah satu kerajaan Islam di Aceh.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Lamuri
       Saudagar-saudagar muslim, baik dari barat ataupun timur memakai aceh buat jadikan pengganti malaka untuk area berdagang serta area dengan intensif menyebarkan agama islam. kondisi itu tidak disia-siakan oleh sultan ali mughayat syah. dia memanfaatkannya untuk membina kesultanan supaya betul-betul kuat.

E.   Kerajaan Pedir
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Pedir
Kala itu Kerajaan Sama Indra menjadi saingan Kerajaan Indrapurba (Lamuri) di sebelah barat dan kerajaan Plak Plieng (Kerajaan Panca Warna) di sebelah timur. Kerajaan Sama Indramengalami goncangan dan perubahan yang berat kala itu, Menurut M Junus Djamil, pada pertengahan abad ke-14 masehi penduduk di Kerajaan SamaIndra beralih dari agama lama menjadi pemeluk agama Islam, setelah kerajaan itu diserang oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Mansyur Syah (1354 – 1408 M). Selanjutnya, pengaruh Islam yang dibawa oleh orang-orang dari Kerajaan Aceh Darussalam terus mengikis ajaran hindu dan budha di daerah tersebut.
       Setelah kerajaan Sama Indra takluk pada Kerajaan Aceh Darussalam, makan sultan Acehselanjutnya, Sultan Mahmud II Alaiddin Johan Sjah mengangkat Raja Husein Sjah menjadi sultan muda di negeri Sama Indra yang otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Sama Indra kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Pedir, yang lama kelamaan berubah menjadi Pidie seperti yang dikenal sekarang.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kerajaan Pedir
       Sjahir Poli mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Kerajaan Sama Indra. Waktu itu mereka masih menganut agama Budha Mahayana atau Himayana. Oleh M Junus Djamil diyakini dari agama ini kemudian masuk pengaruh Hindu.
       Lama kelamaan Kerajaan Sama Indra pecah mejadi beberapa kerajaan kecil. Seperti pecahnya Kerajaan Indra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra, Indrapurwa dan Indrajaya yang dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli di Lhokseudu.
       Kala itu Kerajaan Sama Indra menjadi saingan Kerajaan Indrapurba (Lamuri) di sebelah barat dan kerajaan Plak Plieng (Kerajaan Panca Warna) di sebelah timur. Kerajaan Sama Indramengalami goncangan dan perubahan yang berat kala itu, Menurut M Junus Djamil, pada pertengahan abad ke-14 masehi penduduk di Kerajaan SamaIndra beralih dari agama lama menjadi pemeluk agama Islam, setelah kerajaan itu diserang oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Mansyur Syah (1354 – 1408 M). Selanjutnya, pengaruh Islam yang dibawa oleh orang-orang dari Kerajaan Aceh Darussalam terus mengikis ajaran hindu dan budha di daerah tersebut.
       Menelusuri peralihan Hindu ke Islam di Pidie juga lebih mudah dari pada menentukan kapan kedatangan bangsa Mon Khmer, serta kapan Kerajaan Sama Indra didirikan. Jadi mari kita alihkan perhatian kita kepada peristiwa transisi kaimanan tersebut, peralihan itu terjadi setelah Kerajaan Sama Indra diserang oleh Kerajaan Aceh Darussalam menjelang pertengahan abad IX hijriah atau antara akhir abad XIV  dan awal abad XV masehi. Berarti dalam tahun 840-an hijriah atau 1390-an sampai 1410 masehi.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Pedir
                            Pedir merupakan sebuah negeri maju yang setiap tahunnya disinggahi sekurang-kurangnya 18 sampai 20 kapal asing, untuk memuat lada yang selanjutnya diangkut ke Tiongkok, Cina.
                     Dari pelabuhan Pedir juga diekspor kemenyan dan sutra produksi masyarakat Pidie dalam jumlah besar. Karena itu pula, banyak pendatang dari bangsa asing yang berdagang ke pelabuhan Pedir. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi warga pelabuhan waktu itu meningkat.
                     Negeri Pedir yang saat itu sudah menggunakan uang emas, perak, dan tembaga sebagai alat jual beli, serta aturan hukum yang sudah berjalan dengan baik.

F.    Kerajaan Daya
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Daya
Kerajaan Daya didirikan para pengungsi dari Kerajaan Indra Jaya, sebuah Kerajaan yang berpusat di Bandar Panton Bie (Seudu). Alasan mereka mengungsi ialah untuk menghindari serangan tentara angkatan laut Negeri China yang menyerang negeri mereka. Raja Indra Jaya turut mengungsi ke suatu tanah datar yang subur di sebelah Gunung Geurutee. Melihat lokasi tersebut, Raja Indra Jaya beserta rombongan menetap di daerah tersebut sehingga dinamai Indra Jaya.
       Kemudian serombongan mubaligh pimpinan Meurah Pupok (Teungku Sagop) datang ke Kerajaan Indra Jaya. Mereka berhasil mengembangkan Islam dan rajanya pun ikut menganut agama Islam. Akhirnya, Meurah Pupok diangkat menjadi raja dan kerajaannya bernama Kerajaan Daya.
       Diantara raja yang terkenal namanya dari keturunan Meurah Pupok adalah Meureuhom Onga (Almarhum Onga). Setelah Onga mangkat, Kerajaan Daya mengalami kemunduran dan kekacauan. Akhirnya datanglah Raja Inayat Syah dan puteranya Riayat Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam. Putera mahkota Riayat Syah diangkat menjadi Raja Kerajaan Daya dengan gelar Sultan Salathin Riayat Syah, sedangkan ayahnya, Sultan Inayat Syah tetap memerintah Kerajaan Aceh Darussalam, 1480-1490 M.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kerajaan Daya
                        Proses masuknya Islam di Kerajaan Daya melalui Kerajaan Aceh Darussalam. Dominasi Aceh dalam perdagangan dan politik di wilayah itu menguat, dan mencapai puncaknya antara 1610 dan 1640. Bahkan tawanan tentara Portugis yang berbaur dengan penduduk Lamno diajarkan bertani, berbahasa, dan diperkenalkan adat istiadat dan budaya masyarakat Aceh. Para mantan tawanan perang itu kemudian juga dibolehkan untuk mempersunting gadis pribumi, tentu setelah memeluk Islam.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Daya
       Sultan Aceh Darussalam mengutus Sultan Salatin Alidin Riayatsyah ke Negeri Daya pada tahun 1480, untuk mengatasi kemelut empat kerajaan kecil tersebut. di Kerajaan Kuala Daya, sultan mengumpulkan semua raja. Saat itulah sang sultan mendeklarasikan berdirinya kerajaan daya, dengan maklumat Sultan Aceh, bahwa segala urusan diselesaikan dengan hukum Allah, dan hukum adat.


G.   Kerajaan Linge
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Linge
Kerajaan Linge adalah sebuah kerajaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali. Adi Genali (Kik Betul) mempunyai empat orang anak yaitu Empuberu, Sibayak Linge, Merah Johan, Merah Linge. Reje Linge I mewariskan kepada keturunannya sebilah pedang dan sebentuk cincin permata yang berasal dari Sultan Peureulak Makhdum Berdaulat Mahmud Syah (1012-1038 M). Pusaka ini diberikan saat Adi Genali membangun Negeri Linge pertama di Buntul Linge bersama dengan seorang perdana menteri yang bernama Syekh Sirajuddin yang bergelar Cik Serule.
       Kerajaan Linge berdiri pada tahun 1025 yang raja pertamanya bernama Adi Genali yang oleh orang-orang Aceh menyebutnya dengan “Kik Betul” atau “Kawe Teupat” yang berdiri pada masa berkuasanya Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak di sekitar tahun 1012-1058.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kerajaan Linge
         Proses masuknya Islam di Kerajaan Linge melalui Kerajaan Peureulak (Perlak). Dikatakan bahwa ketika Marco Polo singgah di Perlak tahun 1292, didapatinya penduduk Perlak telah memeluk agama Islam, penduduk yang tidak mau masuk Islam telah menyingkir ke pedalaman. Mereka yang menyingkir ke pedalaman ini menjumpai “kerajaan kecil dan laut kecil” di pedalaman.
       Rakyat asli pedalaman ini menyebut daerahnya dengan “Lainggow” dan menyebut rajanya dengan “Ghayo o Ghayo” atau “Raja Gunung yang Suci”. Di daerah “Lainggow” telah berdiri kerajaan kecil yaitu “Kerajaan Lainggow”, dan sudah ada hubungan dengan Kerajaan Perlak di Aceh Timur dengan kirim mengirim bingkisan.
       Besar kemungkinan yang dimaksud dengan “Lainggow” dalam catatan Marco Polo ini adalah “Linge”, sehingga yang dimaksud dengan “Kerajaan Lainggow” adalah “Kerajaan Linge”, sedang yang dimaksud dengan “laut kecil” di pedalaman Perlak adalah “Danau Laut Tawar”, karena satu-satunya danau di pedalaman di daerah Aceh adalah Danau Laut Tawar. Dari catatan Marco Polo ini diketahui bahwa di daerah pedalaman sudah ada lebih dahulu “penduduk asli” sebelum masuknya islam dan sebelum kedatangan pelarian dari Kerajaan Perlak di Aceh Timur.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Linge
       Salah seorang anak Raja Linge Meurah Johan setelah khitan pergi mempelajari ilmu agama di Cot Kala Perlak Aceh Timur yang dipimpin oleh Syeh Abdullah Kana’an yang berasal dari negeri Mesir. Setelah Meurah Johan menamatkan studi agamanya, Meurah Johan mengembangkan syiar agama Islam ke daerah Aceh Utara, Aceh Pidie dan Aceh Besar bersama 17 santri lainnya di bawah pimpinan Syeh Abdullah Kana’an.
       Setibanya di Lamkrak Aceh Besar, saat itu perang sedang berkecamuk di antara pasukan Kerajaan Indra Purba yang berajakan Indra Sakti dengan Pasukan Cina yang dipimpin oleh Putroi Neng. Pada saat itu pasukan Kerajaan Indra Purba terdesak lalu minta bantuan kepada Syeh Abdullah Kana’an. Syeh Abdullah Kana’an tidak menaruh keberatan asalkan Raja dan seluruh penduduk memeluk agama Islam. Raja Indra sakti kemudian bersama penduduknya memeluk agama Islam, kemudian Syeh Abdullah Kana’an menunjuk Meurah Johan menjadi panglima perang Kerajaan Indra Purba.
                                 

H.   Kesultanan Aceh
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1514. Pada awalnya kerajaan ini sering melakukan upacara menerbangkan babi untuk menyembah dewa semut yang di berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pesir, Lodie, fakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Aceh
       Masuknya Islam di wilayah Aceh karena sudah ada kerajaan-kerajaan sebelumnya. Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie, Teunom, Daya, dan lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua daerah ini diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe, disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Aceh
       Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088-1098 H = 1678-1688 M) dengan Kadi Malikul Adil (Mufti Agung). Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi pembagian wilayah. Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi dinamakan Sagoe dan kepalanya disebut Panglima Sagoe. Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe) :
a.         Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).
b.        Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul 'Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
c.         Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).
       Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah. Kemudian gampong itu membentuk Mukim yang terdapat satu Mesjid untuk melakukan salat jumat sesuai mazhab Syafi'ie. Kecuali dari 3 (Tiga) wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki hak otonom yang luas.
       Ulèëbalang yang diberi hak mengurus daerah otonom non Lhée Sagoe, secara teori adalah pejabat sultan yang diberikan Sarakata pengangkatan dengan Cap Sikureueng. Namun fakta di lapangan mereka adalah merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat mengontrol semua Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat di pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini sehingga mereka lambat laun tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan. Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya kepada petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung.
       Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang isinya sebagai berikut:
“Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan daripada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun.”

I.     Kerajaan Malayu Tambayung
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Malayu Tambayung
Kerajaan Tambayung merupakan kerajaan pertama bangsa Melayu, kerajaan ini berdiri saat pertengahan abad ke-6-7, keraajaan ini berletak dekat dengan daerah tetangga yaitu Kepulauan Riau.
Kerajaan ini dipimpin oleh Sultan Baabullah sebagai sebutan gelar kerajaan adapun nama asli pemberian kedua orang tuanya adalah “Anang Marang Saliwang”, “Anang” berarti laki-laki “Marang Saliwang” merupakan sebuah julukan yang berarti yang berpendengaran kurang. Istrinya bernama “Ratu Siam” sebagai gelar kerajaan, sedangkan nama Aslinya “Siti Aminah”.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kerajaan Malayu Tambayung
                     Kerajaan Tambayung telah memeluk Islam yang disebar luaskan oleh Syekh Abdul Qadir Al Jailani pada akhir abad ke-6. Nama Tambayung diambil dari kata “Tam” yang berarti kekuatan dan “Yung” berarti dari yang Maha Pencipta.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Malayu Tambayung
       Pada masa pemerintahan Sultan Baabullah sistem pemerintahan mengunakan sistem Islam, sementara starata kerajaan tidak menuntut untuk disebut raja terkecuali apabila ada tamu.
J.    Kesultanan Indra Pura
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Indra Pura
       Inderapura dikenal juga sebagai Ujung Pagaruyung. Melemahnya kekuasaan Pagaruyung selama abad ke-15, beberapa daerah pada kawasan pesisir Minangkabau lainnya, seperti Inderagiri, Jambi, dan Inderapura dibiarkan mengurus dirinya sendiri. Namun perkembangan Inderapura baru benar-benar dimulai saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Arus perdagangan yg tadinya melalui Selat Malaka sebagian besar beralih ke pantai barat Sumatera dan Selat Sunda. Perkembangan dan ekspansi Inderapura terutama ditunjang oleh lada.
       Kesultanan Siak Sri Inderapura adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Indonesia. Kerajaan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yang kuat dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan di pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Indra Pura
       Pada masa awal Kesultanan Melayu Melaka, Riau menjadi tempat pusat agama islam. Setelah itu perkembangan agama Islam di Siak menjadikan kawasan ini sebagai salah satu pusat penyebaran dakwah Islam, hal ini tidak lepas dari penggunaan nama Siak secara luas di kawasan Melayu. Jika dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal: Adat menurun, syara’ mendaki dapat bermakna masuknya Islam atau mengislamkan dataran tinggi pedalaman Minangkabau dari Siak sehingga orang-orang yang ahli dalam agama Islam, sejak dahulu sampai sekarang, masih tetap disebut dengan Orang Siak. Sementara di Semenanjung Malaya, penyebutan Siak masih digunakan sebagai nama jabatan yang berkaitan dengan urusan agama Islam.
       Walau telah menerapkan hukum Islam pada masyarakatnya, namun sedikit pengaruh Minangkabau masih mewarnai tradisi masyarakat Siak. Dalam pembagian warisan, masyarakat Siak mengikut kepada hukum waris sebagaimana berlaku dalam Islam. Namun dalam hal tertentu, mereka menyepakati secara adat bahwa untuk warisan dalam bentuk rumah hanya diserahkan kepada anak perempuan saja.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Indra Pura
       Pengaruh Kerajaan Indrapura amat luas. Bandaro Harun (Harunsyah Sultan Bengawan), ke Brunei (1625) disebut ayah Dato Godan salah seorang leluhur Dipetuan Sultan Haji Hasanal Bolkiah Mu’izzadin Waddaulah. Rajo Putih Indrapura ke Natal dan mendirikan Kerajaan Lingga Pura di sana kemudian dikenal leluhur dari Sutan Syahrir dan Sutan Takdir Alisjahbana (Putri Bulkis Alisjahbana, 1996:43-44). Dari asal Puti Indrapura pindah ke Mukomuko dan Bintuhan, terbuka pula tabir rahasia adanya hubungan Megawati Sukarno Putri dengan Kesultanan Indrapura, ketika event pemberian gelar Puti (dari Mukomuko dan Bintuhan dulu bagian dari Kesultanan Indrapura) kepadanya di Bengkulu tahun 2001. Taufik Kemas dalam acara itu memakai tutup kepala dari Bintuhan kemudian memakai yang dari Mukomuko.

K.   Kerajaan Pasaman
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Pasaman
Adapun urutan Radja-Radja Didalam Negeri Pasaman Kehasilan Kalam (dari yang pertama sampai yang ke-11) adalah sebagai berikut :

a.    Paduka Seri Sulthan Seri Radja di Radja Alam Sjah.
b.    Paduka Maharadja di Radja Alam Sjah.
c.    Paduka Radja di Radja Alam.
d.    Radja Nan Garang.
e.    Paduka Radja Nan Tjerdik.
f.     Paduka Jangdipertuan Sakit Kaki.
g.    Paduka Jang Dipertuan Radja Lembang Alam.
h.    Tuanku Muda.
i.     Tuanku Sulthan Abdul Madjid.
j.     Paduka Daulat Jang Dipertuan Mohd. Ali Hanafiah.
k.    Paduka Jang Dipertuan Didalam Negeri Pasaman Mohd. Siam, Radja Jang Penghabisan.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kerajaan Pasaman
       Rao dan Pasaman umumnya dalam subkultur Minang merupakan rantau Luak Agam yang kental menganut adat kelarasan koto piliang yang didirikan Datuk Ketumanggungan.
       Tuanku Rao ini, ayahnya berasal Tarungtarung Rao dan ibu dari Padangmantinggi, kemudian dikenal sebagai  seorang tokoh paderi (1821 – 1837) terkemuka dan panglima perang, disebut amat gigih memerangi Belanda di wilayah Pasaman, Kotanopan, Padanglawas, dan di Padangsidempuan. Ia juga seorang ulama penyebar Islam di Tanah Batak, yang masa remajanya belajar ilmu agama Islam di surau Tuanku Nan Tuo, Koto Tuo (Agam), kemudian mendalaminya dengan Bonjol bidang fiqh al-Islam (juresprudensi Islam) sampai dianugerahi gelar Fakih Muhammad.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Pasaman
Tuanku Rao lahir dari pasangan Minangkabau yang berasal dari Rao, Pasaman, Sumatera Barat. Ayahnya berasal dari Tarung-Tarung, Rao, sedang ibunya dari Padang Mantinggi, Rao.[1]
Pada masa remaja Tuanku Rao mendalami ilmu agama Islam di surau Tuanku Nan Tuo, Koto Tuo, Agam, dan kemudian melanjutkannya di Bonjol. Setelah menyelesaikan ilmu fiqihu al-Islam dengan predikat thayyib jiddan (sangat memuaskan), dia dianugerahi gelar Fakih Muhammad.
Fakih Muhammad kemudian menikah dengan seorang wanita bangsawan, puteri Yang Dipertuan Rao. Karena mertuanya bukan seorang penganut Wahabi, dan tidak bersemangat untuk menentang penjajahan Hindia-Belanda, maka pimpinan pemerintahan Rao diambil alih oleh menantunya, yang kemudian bergelar Tuanku Rao.[2]
Pada 1816, Tuanku Nan Barampek mengiringi Fakih Muhammad pulang ke kampung halamannya untuk menyebarkan hukum Islam. Di Rao, Yang Dipertuan Daulat Padang Nunang, yang punya pertalian darah dengan Kerajaan Pagaruyung, tak ragu-ragu menyosialisasikan hukum Islam tersebut kepada anak kemenakan.
Kemudian bersama kemenakannya, Bagindo Suman dan Kali Alam, dia menyebarkan ajaran Paderi ke Langung, Muaro Sitabu, Muaro Bangku, Koto Rajo, Silayang, hingga sampai ke Rokan Hulu, Riau. Di wilayah Rokan dia bertemu dengan teman seperguruannya, Tuanku Tambusai. Bersama Tuanku Tambusai, dia mengislamkan masyarakat Padang Sidempuan, Kotanopan, Padang Lawas, Bakkara, dan sejumlah perkampungan di bibir Danau Toba.

L.   Kerajaan Pagaruyung
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Pagaruyung
Pagaruyung adalah kerajaan yang pernah berdiri di Sumatera, wilayahnya terdapat di dalam provinsi Sumatera Barat sekarang. Nama  kerajaan ini dirujuk dari nama pohon Nibung atau Ruyung, selain itu juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Alam Bagagar dari Pagaruyung, yaitu pada tulisan beraksara Jawi dalam lingkaran bagian dalam yang berbunyi sebagai berikut: Sultan Tangkal Alam Bagagar ibnu Sultan Khalīfatullāh yang mempunyai tahta kerajaan dalam negeri Pagaruyung Dārul Qarār Johan Berdaulat Zillullāh fīl 'Ālam. sayangnya pada cap mohor tersebut tidak tertulis angka tahun masa pemerintahannya. Kerajaan ini runtuh pada masa Perang Padri, setelah ditandatanganinya perjanjian antara Kaum Adat dengan pihak Belanda yang menjadikan kawasan Kerajaan Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda.
Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Malayapura, sebuah kerajaan yang pada Prasasti Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh Adityawarman, yang mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam Malayapura adalah kerajaan Dharmasraya dan beberapa kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh masyarakat Minangkabau tidak ada yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar.
Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca Amoghapasa disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada Prasasti Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yang disebut dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang, pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kerajaan Pagaruyung
Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Pagaruyung
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal : "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Qur'an. Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat masih dipertahankan dan inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Padri yang pada awalnya antara Kaum Padri (ulama) dengan Kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri dalam peperangan ini.
Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan dengan Islam. Penamaan negari Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal dari kata Quduus (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang mengandung kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya misalnya istilah Pandito (pendeta).

N.   Kerajaan Siguntur
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Siguntur
Sejarah kerajaan Siguntur belum banyak diketahui, namun menurut sumber lokal menyebutkan bahwa daerah Siguntur merupakan sebuah kerajaan Dharmasyraya di Swarnabhumi (Sumatera) yang berkedudukan di hulu sungai Batanghari, sungai ini melintasi Provinsi Jambi dengan  muara di laut Cina Selatan. Sebelum agama Islam masuk ke wilayah Minangkabau atau Jambi, kerajaan Siguntur merupakan kerajaan kecil yang bernaung di bawah kerajaan Malayu, namun pernah bernaung pula pada kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Singasari, dan Minangkabau.
Pada tahun 1197 (1275 M), Siguntur merupakan pusat Kerajaan Malayu dengan rajanya Mauliwarmadewa bergelar Sri Buana Raya Mauliawarmadewa sebagai raja Dharmasyraya. Sedangkan dalam prasasti Amonghapasa menyebutkan bahwa pada tahun 1286 Sri Maharaja Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa bersemayam di Dharmasyraya daerah pedalaman Riau daratan. Dengan kata lain kerajaan Swarnabhumi pada waktu itu telah dipindahkan dari Jambi ke Dharmasyraya. Melihat kedua pendapat tersebut, ada kemungkinan pada abad 12 kerajaan Siguntur ini berasal dari kerajaan Swarnabhumi Malayupuri Jambi.
Kerajaan Siguntur adalah kerajaan yang berdiri semenjak tahun 1250 pasca runtuhnya Kerajaan Dharmasraya. Kerajaan ini bertahan selama beberapa masa hingga kemudian dikuasai oleh Kerajaan Pagaruyung, tapi sampai sekarang ahli waris istana kerajaan masih ada dan tetap bergelar Sutan. Ahli waris yang memegang jabatan raja Siguntur hingga saat ini adalah Sutan Hendri.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kerajaan Siguntur
Pada abad ke-14, agama Islam masuk ke Kerajaan Siguntur. Pada waktu itu yang berkuasa adalah raja Pramesora yang berganti nama menjadi Sultan Muhamad Syah bin Sora Iskandarsyah. Selanjutnya kerajaan Siguntur bernaung dibawah Kerajaan Alam Minangkabau. Salah satu bukti Kerajaan Siguntur menganut agama Islam terlihat pada masyarakat yang memegang prinsip syarak bersandi Kitabullah. Selain itu, ditemukan pula dua buah stempel kerajaan Siguntur berbahasa Arabh yang menyebutkan bahwa "Cap ini dari Sultan Muhammad Syah bin Sora Iskandar atau Muhammad Sultan Syah Fi Siguntur Lillahi" dan "Cap ini bertuliskan bahwa Al-Watsiqubi 'inayatillahi' 'azhiim Sutan Sri Maharaja Diraja Ibnu Sutan Abdul Jalil 'inaya Syah Almarhum." Dan diperkirakan pada masa inilah Masjid Siguntur didirikan. Pembangunan Mesjid Siguntur
Dalam kompleks Masjid Siguntur terdapat makam Raja-raja Siguntur yang terdapat di sebelah utara bangunan masjid. Kompleks makam berdenah segi lima dengan ukuran panjang yang berbeda. Makam dibuat sangat sederhana, hanya ditandai dengan nisan dan jirat dari bata dan batu. Dari sekian banyak makam hanya enam makam yang diketahui, yaitu makam Sri Maharaja Diraja Ibnu bergelar Sultan Muhammad Syah bin Sora, Sultan Abdul Jalil bin Sultan Muhammad Syah Tuangku Bagindo Ratu II, Sultan Abdul Kadire Tuangku Bagindo Ratu III, Sultan Amirudin Tuangku Bagindo Ratu IV, Sultan Ali Akbar Tuangku Bagindo V, dan Sultan Abu Bakar Tuangku Bagindo Ratu VI.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Siguntur
Sumber nilai dan pandangan hidup masyarakat Melayu dan Minangkabau khususnya yang melandasi tatanan hidup berinteraksi antar sesama, dan antar masyarakat dengan alam sekitar. Kedua daerah tersebut yang mempunyai hubungan kultural dan etnis sebagai perwujudan budaya dikaitkan dengan Islam. Dalam masyarakat Melayu, baik adat yang sabana adat, adat yang teradat, maupun adat yang diadatkan bermuara dari adat bersendi syarak, svarak bersendi kitabullah.
Paham Alam Melayu Jambi ini mengandung etika hukum yang rasional, bersendi alur dan patut serta patut yang dibimbing kebenaran yang mutlak dari Allah, Tuhan Yang Nlaha Esa. Adat bersandi syarak, mengandung nilai budaya yang egaliter, yakni prinsip menghargai orang lain dan lingkungannya, serta membangkitkan daya juang yang kompetitif. Ajaran Islam yang menyebutkan setiap manusia sama kedudukan di sisi-Nya, dipakai dalam kehidupan alam demokrasi, DUDUK SAMO RENDAH, TEGAK SAMO TINGGI.



BAB III
PENUTUP



A.   KESIMPULAN
Bukti tertulis mengenai adanya masyarakat Islam di Indonesia tidak ditemukan sampai dengan abad 4 H (10 M). Yang dimaksud dengan bukti tertulis adalah bangunan-bangunan masjid, makam, ataupun lainnya.
Hal ini memberikan kesimpulan bahwa pada abad 1—4 H merupakan fase pertama proses kedatangan Islam di Indonesia umumnya dan Sumatera khususnya, dengan kehadiran para pedagang muslim yang singgah di berbagai pelabuhan di Sumatera. Dan hal ini dapat diketahui berdasarkan sumber-sumber asing.
Dari literature Arab, dapat diketahui bahwa kapal-kapal dagang Arab sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad ke– 7 M. Sehingga, kita dapat berasumsi, mungkin dalam kurun waktu abad 1—4 H terdapat hubungan pernikahan anatara para pedagang atau masyarakat muslim asing dengan penduduk setempat sehingga menjadikan mereka masuk Islam baik sebagai istri ataupun keluarganya.
Sedangkan bukti-bukti tertulis adanya masyarakat Islam di Indonesia khususnya Sumatera, baru ditemukan setelah abad ke– 10 M. yaitu dengan ditemukannya makam seorang wanita bernama Tuhar Amisuri di Barus, dan makam Malik as Shaleh yang ditemukan di Meunahasah Beringin kabupaten Aceh Utara pada abad ke– 13. M. 

B.   SARAN
Makalah ini berhasil disusun dengan banyak kekurangannya, salah satunya adalah ketidakjelasan topik apa yang harus dimuat dan dipelajari dalam makalah. Minimnya sumber data juga menghambat penyelesaian makalah. Hal ini perlu diperhatikan agar penyusunan makalah selanjutnya lebih jelas lagi dan lebih mudah lagi di selesaikan.

Tidak ada komentar: