Minggu, 08 Mei 2016

Kerajaan Islam di Jawa



BAB I
PENDAHULUAN



A.   LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, di Jawa telah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang cukup kokoh, kuat dan tangguh, bahkan sampai saat ini hasil peradabannya masih dapat disaksikan. Misalnya, candi Borobudur yang merupakan peninggalan Budha Mahayana dan candi Roro Jonggrang di desa Prambanan. Demikian juga halnya dari segi literatur, seperti buku Pararaton dan Negara Kertagama. Wajarlah jika Vlekke menyebut kerajaan-kerajaan pra-Islam, khususnya Singosari dan Majapahit, sebagai Empire Builders of Java.
Setelah agama Islam datang di Jawa dan Kerajaan Majapahit semakin merosot pengaruhnya di Masyarakat, terjadilah pergeseran di bidang politik. Islamisasi menunjukkan suatu proses yang terjadi cepat, terutama sebagai hasil dakwah para wali sebagai perintis dan penyebar agama Islam di Jawa. Di samping kewibawaan rohaniah, para wali juga berpengaruh dalam bidang politik, bahkan ada yang memegang pemerintahan. Otoritas kharismatis mereka merupakan ancaman bagi raja-raja Hindu di pedalaman.
Pengembangan politik para wali yang semula berkedudukan di pantai-pantai, ternyata tidak dipertahankan oleh penerusnya. Akhirnya, pusat aktivitas politiknya pindah ke pedalaman yang semula kuat ke-Hinduannya bahkan sampai ke Madura dan kota-kota lain di Nusantara.

B.   RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimana latar belakang lahirnya setiap kerajaan Islam di Jawa ?
2.    Bagaimana proses masuknya Islam pada kerajaan-kerajaan Islam di berada Jawa ?
3.    Bagaimana pengaruh Islam pada kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Jawa ?
C.   TUJUAN PENULISAN
       1.    Memahami latar belakang lahirnya setiap kerajaan Islam di Jawa.
       2.    Mempelajari proses masuknya Islam pada kerajaan-keraajn Islam di Jawa.
       3.    Mengetahui pengaruh Islam pada kerajaan-kerajaan Islam di Jawa

D.   MANFAAT PENULISAN
       Adapun manfaat penyusunan makalah ini adalah untuk mempelajari, mencermati, menganalisa dan memahami tentang kerajaan-kerajaan Islam ditanah Jawa. Islamisasi daerah-daerah diluar pulau Jawa banyak pengaruhnya dari Jawa. Untuk itu, kami sebagai penyusun termotivasi karena memiliki rasa ingin tahu tentang proses Islamisasi ditanah Jawa itu sendiri.


BAB II
PEMBAHASAN

LATAR BELAKANG, PROSES MASUKNYA ISLAM DAN PENGARUH ISLAM PADA KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI JAWA

A.   Kerajaan Cirebon
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Cirebon
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang pertamanya bernama Subanglarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Raden Walangsungsang, ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang.
Pangeran Walangsungsang lalu membuat sebuah pedukuhan di Kebon Pesisir, membangun Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi) mendirikan Dalem Agung Pakungwati serta dan membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M. Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.
2.    Proses Masuknya Islam di Kerajaan Cirebon
       Tempat pertama Islam diperkenalkan di wilayah Cirebon adalah pelabuhan Muara Jati dan Dukuh Pasambangan. Orang pertama yang mengenalkan Islam adalah Syekh Idofi Syekh Datuk Kahfi yang kemudian menetap dan mendirikan pesantren di Cirebon. Keberadaan pesantren merupakan awal dari proses Islamisasi yang lebih terkordinir, yang sebelumnya proses penyebaran hanya melalui sanak saudara kemudian menjadi lebih luas.
       Islamisasi yang diusahakan di Cirebon sendiri tidak serta merta diterima oleh masyarakat, karena pada dasarnya Cirebon merupakan bekas daerah kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran, kerajaan bercorak Hindu-Budha. Proses Islamisasi di Cirebon sangat berkaitan dengan kehidupan masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan lama bercampur dengan agama-agama yang pernah masuk, hingga sekarang agama Islam masuk pun ciri percampuran budayanya masih terasa, diantaranya adanya perayaan Panjang Jimat dan Rasulan.
3.    Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Cirebon
       Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah yang pada tahun 1479 M mendapat restu dari Pangeran Cakrabuana dan Dewan Wali Sanga yang diketuai oleh Sunan Ampel telah menghentikan hulu bekti/upeti kepada kerajaan Pajajaran yang menandakan telah berdirinya Cirebon. Cirebon dibawah kekuasaan Sunan Gunung Jati melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran dan menjadi Negara Kerajaan Islam yang berdaulat. Kerajaan Sunda Pajajaran sendiri pada saat itu dipimpin oleh raja yang bergelar Sri Paduka (Baduga) Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.
Proses Islamisasi Sunan Gunung Jati tidak dilakuka dengan cara yang revolusioner, melainkan dengan cara yang mudah diterima, yakni dengan memperbaiki yang telah ada. Sunan Gunung Jati menjadi Sultan di Cirebon pada tahun 1479 hingga 1568. Budaya Hindu yang merupakan agama peninggalan Pajajaran tidak dihapuskan, melainkan diselaraskan dengan ajaran Islam. Berbagai peninggalan pasca proses Islamisasi yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati masih terlihat hingga saat ini. Proses maupun hasil dari Islamisasi Sunan Gunung Jati memiliki keunikan dan menarik untuk dikaji lebih mendalam.

B.   Kesultanan Demak
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Demak
Menjelang akhir abad ke-15, seiring dengan kemuduran Majapahit, secara praktis beberapa wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Bahkan wilayah-wilayah yang tersebar atas kadipaten-kadipaten saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit.
Sementara Demak yang berada di wilayah utara pantai Jawa muncul sebagai kawasan yang mandiri. Dalam tradisi Jawa digambarkan bahwa Demak merupakan penganti langsung dari Majapahit, sementara Raja Demak (Raden Patah) dianggap sebagai putra Majapahit terakhir. Kerajaan Demak didirikan oleh kemungkinan besar seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po.
Kemungkinan besar puteranya adalah "Badruddin" atau "Kamaruddin" dan meninggal sekitar tahun 1504. Putera atau adik Rodim, yang bernama Trenggana bertahta dari tahun 1505 sampai 1518, kemudian dari tahun 1521 sampai 1546. Di antara kedua masa ini yang bertahta adalah iparnya, Raja Yunus (Pati Unus) dari Jepara. Sementara pada masa Trenggana sekitar tahun 1527 ekspansi militer Kerajaan Demak berhasil menundukan Majapahit.
Lokasi keraton Demak, yang pada masa itu berada di tepi laut, berada di kampung Bintara (dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Sebutan kerajaan pada periode ketika beribukota di sana dikenal sebagai Demak Bintara. Pada masa raja ke-4 ibukota dipindahkan ke Prawata (dibaca "Prawoto") dan untuk periode ini kerajaan disebut Demak Prawata. 
2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Demak
Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawahnya, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto. Salah seorang panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu raja Trenggana. Sementara Maulana Hasanuddin putera Sunan Gunung Jati[4] diperintah oleh Trenggana untuk menundukkan Banten Girang. Kemudian hari keturunan Maulana Hasanudin menjadikan Banten sebagai kerajaan mandiri. Sedangkan Sunan Kudus merupakan imam di Masjid Demak juga pemimpin utama dalam penaklukan Majapahit sebelum pindah ke Kudus.
Pada tahun 1524-1525, Sultan Demak, Trenggana, mengutus Sunan Gunung Djati dengan membawa pasukan menuju ke wilayah Banten yang ketika itu merupakan wilayah bawahan Padjadjaran. Penguasa Banten ternyata menerima kedatangan Sunan Gunung Djati dan membantu proses Islamisasi di wilayah itu. Pada tahun berikutnya Banten menjadi kerajaan bawahan Demak.
Langkah selanjutnya yang diambil adalah usaha menaklukkan pelabuhan Sunda Kelapa. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan yang paling menonjol di wilayah kekuasaan Padjadjaran pada masa itu. Serangan terhadap Sunda Kelapa dilakukan pada tahun 1527 di bawah kepemimpinan Fatahilah yang merupakan menantu Sunan Gunung Djati. Bersama sejumlah hampir 1.500 tentara, Fatahilah berhasil merebut kota pelabuhan itu dari tangan Padjadjaran. Sejak itu, nama Sunda Kelapa berganti menjadi Jayakarta yang merupakan cikal bakal kota Jakarta
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Demak
    Berdirinya kerajaan Demak banyak didorong oleh latar belakang untuk mengembangkan dakwah Islam. Oleh karena itu tidak heran jika Demak gigih melawan daerah-daerah yang ada dibawah pengaruh asing. Berkat dukungan Wali Songo , Demak berhasil menjadikan diri sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa yang memiliki pengaruh cukup luas. Untuk mendukung dakwah pengembangan agama Islam, dibangun Masjid Agung Demak sebagai pusatnya. Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Demak lebih berdasarkan pada agama dan budaya Islam karena pada dasarnya Demak adalah pusat penyebaran Islam di pulau Jawa. Sebagai pusat penyebaran Islam Demak menjadi tempat berkumpulnya para wali seperti Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Bonar. Para wali tersebut memiliki peranan yang penting pada masa perkembangan kerajaan Demak bahkan para wali tersebut menjadi penasehat bagi raja Demak.

C.   Kesultanan Banten
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Samudera Pasai dan Proses Masuknya Islam di Kerajaan Banten
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana,[6] Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.
Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir.
2.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Banten
   Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha, seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan Sunda.
Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin, melakukan penyebaran agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta penduduknya. Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi di Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.
Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah sampai kepada Nabi Muhammad, dan menempatkan para ulama memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi oleh perkembangan Islam di masyarakat, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.
Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.[21]
Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi oleh muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.

D.   Kerajaan Pajang
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang adalah satu kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan Kerajaan Demak. Kompleks keratonnya pada zaman ini tinggal tersisa berupa batas-batas fondasinya saja yang berada di perbatasan Kelurahan Pajang - Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.
Nama negeri Pajang telah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit. Menurut Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365, bahwasanya pada zaman tersebut adik perempuan Hayam Wuruk (raja Majapahit saat itu) bernama asli Dyah Nertaja menjabat sebagai penguasa Pajang, bergelar Bhatara i Pajang, atau disingkat Bhre Pajang. Dyah Nertaja merupakan ibu dari Wikramawardhana (raja Majapahit selanjutnya).
Berdasar naskah-naskah babad, bahwa negeri Pengging disebut sebagai cikal bakal Pajang. Cerita Rakyat yang melegenda menyebut bahwa Pengging sebagai kerajaan kuno yang pernah dipimpin Prabu Anglingdriya, musuh bebuyutan Prabu Baka raja Prambanan. Kisah ini dilanjutkan dengan dongeng berdirinya Candi Prambanan.
Ketika Majapahit dipimpin oleh Brawijaya (raja terakhir versi naskah babad), bahwa nama Pengging muncul kembali. Dikisahkan bahwa putri Brawijaya yang bernama Retno Ayu Pembayun diculik Menak Daliputih raja Blambangan putra Menak Jingga. Muncul seorang pahlawan bernama Jaka Sengara yang berhasil merebut sang putri dan membunuh penculiknya.
Atas jasanya itu, kemudian Jaka Sengara diangkat oleh Brawijaya sebagai bupati Pengging dan dinikahkan dengan Retno Ayu Pembayun. Jaka Sengara kemudian bergelar Andayaningrat.
Pajang terlihat sebagai kerajaan pertama yang muncul di pedalaman Jawa setelah runtuhnya kerajaan Muslim di daerah Pasisir.
Menurut naskah babad, Andayaningrat gugur di tangan Sunan Ngudung saat terjadinya perang antara Majapahit dan Demak. Ia kemudian digantikan oleh putranya, yang bernama Raden Kebo Kenanga, bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging menjadi daerah bawahan Kerajaan Demak.
Beberapa tahun kemudian Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh hendak memberontak terhadap Demak. Putranya yang bergelar Jaka Tingkir setelah dewasa justru mengabdi ke Demak.
Prestasi Jaka Tingkir yang cemerlang dalam ketentaraan membuat ia diangkat sebagai menantu Trenggana, dan menjadi bupati Pajang bergelar Hadiwijaya. Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali dan Klaten), Tingkir (daerah Salatiga), Butuh, dan sekitarnya.
Sepeninggal Trenggana tahun 1546, selanjutnya Sunan Prawoto naik takhta. Namun Sultan Prawoto kemudian tewas dibunuh sepupunya, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang tahun 1549. Setelah itu, Arya Penangsang juga berusaha membunuh Hadiwijaya namun gagal.
Dengan dukungan Ratu Kalinyamat (bupati Jepara dan puteri Trenggana), Hadiwijaya dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Hadiwijaya selanjutnya menjadi pewaris takhta Demak. Pada masa kepemimpinan Hadiwijaya ini, ibu kota Demak dipindahkan ke Pajang.
2.    Proses Masuknya Islam di Kerajaan Pajang
Kerajaan Demak merupakan Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang didirikan pada tahun 1500 M, oleh Raden Patah yang merupakan keturunan dari Raja Kertabhumi. Sebagai Kerajaan Islam pertama di Jawa, Kerajaan Demak sangat berpengaruh dalam proses Islamisasi pada masa itu, apalagi dengan bantuan para wali sanga yang juga ikut berperan besar dalam masa kejayaan Kerajaan Demak. Kerajaan Demak mengalami proses pergantian kepemimpinan selama 4 kali, yakni Raden Patah (1500 – 1518), Adipati Unus (1518 – 1521), Sultan Trenggana (1521 – 1546), Raden Prawata (1546 – 1549). Namun sayangnya, kerajaan Demak tidak berumur panjang. Setelah hampir 50 tahun berdiri, kerajaan Demak mengalami keruntuhan yang diakibatkan oleh beberapa faktor. Salah satu penyebab faktor runtuhnya Kerajaan Demak adalah adanya perebutan kekuasaan antara Arya Penagsang dengan Adiwijaya atau yang lebih dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir. Ia adalah seorang menantu Sultan Trenggono yang berkuasa di Pajang ( daerah Boyolali). Di dalam pertempuran-pertempuran itu Jaka tingkir akhirnya mampu mengalahkan Arya Penangsang dan memindahkan pusat Kerajaan Demak ke Pajang pada tahun 1568. ( Muljana: 2005). Dari uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa Kerajaan Pajang merupakan lanjutan dari Kerajaan Demak yang didirikan ole Jaka tingkir yang masih keturunan dari Demak, yang tak lain adalah menantu dari Sultan Trenggono. Walaupun dalam bukunya Muljana di jelaskan bahwa Kerajaan Demak telah benar-benar runtuh pada tahun 1546, tapi ketika Jaka Tingkir telah berhasil mengalahkan Arya Penangsang, ia lalu memindahkan keraton Demak ke Pajang, dan mendirikan Kerajaan baru yang disebut dengan Kerajaan Pajang.
Dari uraian diatas, kami selaku penyusun makalah ini dapat menyimpulkan bahwa Islamisasi di Kerajaan Pajang sudah ada sejak adanya Kerajaan Demak sebab Kerajaan Pajang merupakan lanjutan dari Kerajaan Demak.
3.    Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Pajang
Bergesernya pusat pemerintahan Kerajaan Pajang dari pesisir ke pedalaman berpengaruh terhadap kegiatan perekonomian. Perhatian terhadap pengembangan kegiatan pertanian makin meningkat. Hasil-hasil di bidang pertanian juga makin meningkat. Hasil-hasil pertanian itu, antara lain bera, gula, dan palawija. Dengan demikian, ciri-ciri sebagai kerajaan agraris mulai tampak. Kegiatan pelayaran dan perdagangan juga masih berlangsung, tetapi kurang mendapat perhatian dan penguasa. 
Perpindahan pusat pemerintahan dari pesisir ke pedalaman juga berpengaruh terhadap pola kehidupan masyarakat. Penyebaran agama Islam berkembang ke arah pedalaman. Sistem kehidupan feodal mulai terasa. Sultan memiliki kekuasaan dan kedudukan yang sangat tinggi, sementara rakyat begitu patuh kepada rajanya. Berbeda dengan kehidupan masyarakat pesisir yang lebih bebas dan dinamis, masyarakat di pedalaman hidup dengan penuh kehati-hatian. Mereka mengutamakan kebersamaan atau kegotongroyongan. Sikap pasrah dan tunduk kepada pemimpin menjadi ciri masyarakat petani. 

E.   Kesultanan Mataram
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Mataram
Pemerintahan Kerajaan Pajang Arya Panggiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram dan kehidupan rakyatnya terabaikan. Raja baru ini tindakan-tindakannya sangat merugikan rakyatnya sehingga menimbulkan rasa tidak senang di mana-mana. Keadaan ini membuat Pangeran Benowo yang sudah tersingkir ke ke Jipang menjadi merasa sedih dan prihatin. Keadaan ini merupakan kesempatan yang baik bagi pangeran Benowo untuk merebut kembali kekuasaannya.
Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan senopati dari mataram yaitu Danang Sutawijaya untuk menyerbu Pajang, Danang Sutawijaya juga sangat menginginkan robohnya Kerajaan Pajang dan sudah dari dahulu mengambil langkah-langkah untuk melepaskan daerahnya dari kekuasaan Kerajaan Pajang itu. Kerajaan Pajang diserah dari dua arah, dan Aria Panggiri menyerah kepada Senopati,  Pangeran Benowo sendiri tidak akan sanggup kalau harus menghadapi kawannya ( Senopati ) sendirian, maka beliau harus bersedia mengakui kekuasaan Senopati. Perang antara Kerajaan Pajang melawan Kerajaan Mataram dan Jipang pun berakhir dengan kekalahan Arya Panggiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak.
Keraton Pajang dipindahkan ke Mataram, dan mulailah kini riwayat Kerajaan Mataram tahun 1586. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja di Pajang yang ketiga. Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir pada tahun 1587. Tidak ada putera mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan negeri bawahan oleh Mataram. Yang menjadi Bupati adalah Pangeran Gagak Baning, adik Danang Sutawijaya.
Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena dia wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsangpada masa pemerintahan Mas Rangsang,Mataram mengalami masa keemasan.
2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Mataram
Islamisasi di Kerajaan Mataram Islam adalah secara tidak langsung disebabkan kerajaan ini dahulu adalah kadipaten (wilayah bagian) Kerajaan Pajang seperti yang sudah dibahas. Kerajaan Pajang dahulunya Kerajaan Demak, kerajaan bercorak Islam pertama di Jawa, maka, asal mula Islamisasi Kesultanan Mataram ini tidak lepas dari Islamisasi di Pulau Jawa dan peran Kerajaan Demak.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Mataram
Kerajaan Mataram adalah kelanjutan dari Kerajaan Demak dan Pajang. Kerajaan ini menggantungkan kehidupan ekonominya dari sektor agraris. Hal ini karena letaknya yang berada di pedalaman. Akan tetapi, Mataram juga memiliki daerah kekuasan di daerah pesisir utara Jawa yang mayoritas sebagai pelaut. Daerah pesisir inilah yang berperan penting bagi arus perdagangan Kerajaan Mataram.Kebudayaan yang berkembang pesat pada masa Kerajaan Mataram berupa seni tari, pahat, suara, dan sastra. Bentuk kebudayaan yang berkembang adalah Upacara Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha dengan Islam.Di samping itu, perkembangan di bidang kesusastraan memunculkan karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Kitab Sastra Gending yang merupakan perpaduan dari hukum Islam dengan adat istiadat Jawa yang disebut Hukum Surya Alam.
Upacara Garebeg yang bersumber pada pemujaan roh nenek moyang berupa kenduri gunungan yang merupakan tradisi sejak zaman Majapahit dijatuhkan pada waktu perayaan hari besar Islam sehingga muncul Garebeg Syawal pada hari raya Idul Fitri dan Garebeg Maulud pada bulan Rabiulawal.
Hitungan tahun yang sebelumnya merupakan tarikh Hindu yang didasarkan pada peredaran matahari (tarikh samsiah) maka sejak tahun 1633 diubah menjadi tarikh Islam yang berdasarkan pada peredaran bulan (tarikh komariah). Tahun Hindu 1555 diteruskan dengan perhitungan baru dan dikenal dengan tahun Jawa.

F.    Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta mulanya diselenggarakan dengan menggunakan susunan pemerintahan warisan dari Mataram. Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan besar yaitu Parentah Lebet (urusan dalam) yang juga disebut Parentah Hageng Karaton, dan Parentah Jawi (urusan luar) yang juga disebut Parentah Nagari. Sultan memegang seluruh kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan kewajibannya sehari-hari Sultan dibantu lembaga Pepatih Dalem yang bersifat personal.
Nama Yogyakarta adalah perubahan bentuk dari Yodyakarta. Yodyakarta berasal dari kata Ayodya dan Karta. Ayodya diambil dari nama kerajaan dalam kisah Ramayana, sementara karta berarti ramai.
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I dan berkuasa atas setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu Sunan Pakubuwana III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan nama baru Kasunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap dikuasai VOC.
Sultan Hamengkubuwana I kemudian segera membuat ibukota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka daerah baru (jawa: babat alas) di Hutan Paberingan yang terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Ibukota berikut istananya tersebut tersebut dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dan landscape utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756. Para penggantinya tetap mempertahankan gelar yang digunakan, Hamengku Buwono. Untuk membedakan antara sultan yang sedang bertahta dengan pendahulunya, secara umum, digunakan frasa " ingkang jumeneng kaping...ing Ngayogyakarta Hadiningrat " (bahasa Indonesia: "yang bertakhta ke .... di Yogyakarta"). Selain itu ada beberapa nama khusus atau gelar bagi Sultan, antara lain Sultan Sepuh (Sultan yang Sepuh/Tua) untuk Hamengkubuwana II, Sultan Mangkubumi (Sultan Mangkubumi) untuk Sultan Hamengkubuwana VI, atau Sultan Behi (Sultan Hanga[Behi]) untuk Sultan Hamengkubuwana VII.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Kerajaan Demak merupakan penyebar Islam ditanah Jawa sampai pada kerajaan yang merupakan kelanjutan dari sejarah Kerajaan Demak yaitu Kerajaan Pajang, Kerajaan Mataram hingga ke Kerajaan atau Kesultanan Ngayokyakarta Diningrat.
Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupakan kepercayaan resmi kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang kepercayaan dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Walaupun demikian kepercayaan-kepercayaan lokal (baca kejawen) masih tetap dianut rakyat disamping mereka menyatakan diri sebagai orang Islam. Berbagai ritus kepercayaan lokal masih dijalankan namun doa-doa yang dipanjatkan diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menujukkan sebuah kepercayaan baru yang merupakan sinkretis antara kepercayaan Islam dan kepercayaan lokal. Gerakan puritan untuk membersihkan Islam dari pengaruh kepercayaan lokal dan westernisasi baru muncul pada 1912 dari kalangan Imam Kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya kawasan Kauman Yogyakarta yang menjadi tempat tinggal para Imam Kerajaan menjadi pusat gerakan puritan itu.
      


3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupakan kepercayaan resmi kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang kepercayaan dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Walaupun demikian kepercayaan-kepercayaan lokal (baca kejawen) masih tetap dianut rakyat disamping mereka menyatakan diri sebagai orang Islam. Berbagai ritus kepercayaan lokal masih dijalankan namun doa-doa yang dipanjatkan diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menujukkan sebuah kepercayaan baru yang merupakan sinkretis antara kepercayaan Islam dan kepercayaan lokal.

G.   Kesultanan Surakarta Hadiningrat
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Surakarta Hadiningrat
Kesultanan Mataram yang runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan keraton Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742. Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV penguasa Madura barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota kerajaan Mataram yang baru.
Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I), bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Untuk pembangunan kraton ini, Pakubuwono II membeli tanah seharga selaksa keping emas[1] yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gede Sala. Di tengah pembangunan Kraton, Ki Gede Sala meninggal dan dimakamkan di area kraton.
Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru ini. Pembangunan keraton ini menurut catatan menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri dan kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Pakubuwana III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Sultan Hamengkubuwana I. Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun. Perjanjian Salatiga 1757 memperkecil wilayah Kasunanan, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I).
Kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibukota pemerintahan kemudian dihadapkan pada pemberontakan yang besar karena Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II tahun 1746 yang meninggalkan keraton menggabungkan diri dengan Raden Mas Said. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC, yang diwakili oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC lah yang dianggap berhak melantik raja-raja keturunan Mataram.
Pada tanggal 13 Februari 1755 pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yang tidak mau berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Perjanjian Giyanti yang ditanda-tangani oleh Pakubuwana III, Belanda, dan Mangkubumi, melahirkan dua kerajaan baru yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram mengambil gelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kasunanan Surakarta mengambil gelar Sunan Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya waktu, negeri Mataram yang dipimpin oleh Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan nama Kasultanan Yogyakarta, sedang negeri Mataram yang dipimpin oleh Pakubuwana terkenal dengan nama Kasunanan Surakarta.
2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Surakarta Hadiningrat
Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit pada tahun 1400 M, agama Islam mulai tumbuh di Tanah Jawa. Hal ini ditandai dengan munculnya kerajaan Demak di Jawa Tengah. Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama dan terbesar di pantai utara Jawa (pesisir). Pada perkembangannya, muncul pula Kerajaan Pajang, selanjutnya Mataram, Kartasura dan yang terakhir Surakarta Hadiningrat. Seiring penyebaran ajaran agama Islam yang semakin luas, kerajaan-kerajaan tersebut memiliki andil yang besar. Terlebih kelima kerajaan tersebut merupakan kerajaan Islam. Secara otomatis pedoman dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari bersumber dari ajaran agama Islam.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Surakarta Hadiningrat
Selain sebagai pusat syiar agama Islam, keraton juga turut menyumbangkan andil dalam lahirnya tradisi-tradisi kebudayaan. Pencampuran berbagai budaya menyebabkan ragam upacara-upacara tradisi semakin beragam. Antara budaya Islam, kejawen, dan juga tradisi Hindhu-Budha sebagai sisa-sisa dari budaya Kerajaan Majapahit berbaur menjadi satu. Proses akulturasi tersebut terjadi seiring berjalannya waktu.
Salah satu contoh upacara tradisi yang berhubungan dengan budaya Islam adalah upacara sekatenan di keraton Surakarta Hadiningrat. Upacara tersebut merupakan upacara peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Upacara tersebut berhasil menyedot antusiasme masyarakat untuk menyaksikan jalannya upacara. Hal ini merupakan tradisi keraton yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Solo dan sekitarnya.
 Sekaten merupakan sebuah upacara keraton yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon, asal-usul upacaa ini telah muncul sejak zaman Kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Menurut cerita rakyat, kata sekaten berasal dari istilah kredo dalamagama Islam, yaitu Syahadatain.
Sekaten berhubungan erat dengan proses Islamisasi di Tanah Jawa. Dahulu kala, pada saat Kerajaan Demak ada wali songo yang sedang menyebarkan ajaran agama Islam. Mereka menggunakan berbagai macam cara berdakwah, diantaranya menggunakan media budaya. Pada waktu itu orang Jawa masih menganut paham Hindhu, kepercayaan Animisme dan Dinamisme yang masih kuat. Para ulama sepakat untuk mengislamkan masyarakat Jawa. Sebelum Islam masuk, masyarakat Jawa sudah gemar akan gamelan. Gamelan biasanya dipakai sebagai pengiring dalam pertunjukan wayang, pengiring gendhing Jawa. Maka oleh para wali menggunakan gamelan sebagai media dakwah.



BAB III
PENUTUP



A.   KESIMPULAN
Demak pada awalnya merupakan sebuah kadipaten yang ada di bawah kekuasaan dari Kerajaan majapahit. Disaat Majapahit itu runtuh, maka Demak kemudian mulai memisahkan diri dari Ibu Kota di Bintoro. Kerajaan Demak adalah kerajaan islam yang pertama ada di Jawa dan berpengaruh besar pada lahirnya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa serta merupakan awal Islamisasi kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.

B.   SARAN
Belajar dari sejarah adalah yang terpenting karena dengan mempelajari, menganalisa dan memahami apa yang terjadi dengan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Jawa maka melahirkan pemahaman tersendiri bahkan melahirkan prinsip hidup kami bahwa “KESOMBONGAN BISA HILANG JIKA MENGENANG SEJARAH”.
Lihat saja buktinya bahwa lahirnya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa bahkan lahirnya raja atau kesultanan di Jawa merupakan keturunan dari Majapahit yang kemudian lahir Kerajaan Demak hingga membentuk kerajaan-kerajaan selanjutnya dengan tali keluarga yang berkesinambungan.

Tidak ada komentar: