BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
PERMASALAHAN
Sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, di Jawa telah berdiri
kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang cukup kokoh, kuat dan tangguh, bahkan sampai
saat ini hasil peradabannya masih dapat disaksikan. Misalnya, candi Borobudur
yang merupakan peninggalan Budha Mahayana dan candi Roro Jonggrang di desa
Prambanan. Demikian juga halnya dari segi literatur, seperti buku Pararaton dan
Negara Kertagama. Wajarlah jika Vlekke menyebut kerajaan-kerajaan pra-Islam, khususnya
Singosari dan Majapahit, sebagai Empire Builders of Java.
Setelah agama Islam datang di Jawa dan Kerajaan Majapahit semakin merosot
pengaruhnya di Masyarakat, terjadilah pergeseran di bidang politik. Islamisasi menunjukkan suatu proses yang terjadi cepat,
terutama sebagai hasil dakwah para wali sebagai perintis dan penyebar agama
Islam di Jawa. Di samping kewibawaan rohaniah, para wali juga berpengaruh dalam
bidang politik, bahkan ada yang memegang pemerintahan. Otoritas kharismatis
mereka merupakan ancaman bagi raja-raja Hindu di pedalaman.
Pengembangan
politik para wali yang semula berkedudukan di pantai-pantai, ternyata tidak
dipertahankan oleh penerusnya. Akhirnya, pusat aktivitas politiknya pindah ke
pedalaman yang semula kuat ke-Hinduannya bahkan sampai ke Madura dan kota-kota
lain di Nusantara.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana latar belakang lahirnya setiap
kerajaan Islam di Jawa ?
2. Bagaimana proses masuknya Islam pada
kerajaan-kerajaan Islam di berada Jawa ?
3. Bagaimana pengaruh Islam pada kerajaan-kerajaan
Islam yang ada di Jawa ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Memahami
latar belakang lahirnya setiap kerajaan Islam di Jawa.
2. Mempelajari
proses masuknya Islam pada kerajaan-keraajn Islam di Jawa.
3. Mengetahui
pengaruh Islam pada kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
D. MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat penyusunan makalah ini adalah untuk
mempelajari, mencermati, menganalisa dan memahami tentang kerajaan-kerajaan
Islam ditanah Jawa. Islamisasi daerah-daerah diluar pulau Jawa banyak
pengaruhnya dari Jawa. Untuk itu, kami sebagai penyusun termotivasi karena
memiliki rasa ingin tahu tentang proses Islamisasi ditanah Jawa itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
LATAR BELAKANG, PROSES MASUKNYA ISLAM DAN PENGARUH ISLAM PADA
KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI JAWA
A. Kerajaan Cirebon
1. Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Cirebon
Pangeran
Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu
Siliwangi dari istrinya yang pertamanya bernama Subanglarang (puteri Ki Gedeng
Tapa). Raden Walangsungsang, ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai
Rara Santang dan Raden Kian Santang.
Sebagai anak
sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan
Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan
oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama
mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu
dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki
Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang.
Pangeran
Walangsungsang lalu membuat sebuah pedukuhan di Kebon Pesisir, membangun Kuta
Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi) mendirikan Dalem Agung
Pakungwati serta dan membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M.
Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon
adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai
menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai
"raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan
aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.
2. Proses Masuknya Islam
di Kerajaan Cirebon
Tempat
pertama Islam diperkenalkan di wilayah Cirebon adalah pelabuhan Muara Jati dan
Dukuh Pasambangan. Orang pertama yang mengenalkan Islam adalah Syekh Idofi
Syekh Datuk Kahfi yang kemudian menetap dan mendirikan pesantren di Cirebon.
Keberadaan pesantren merupakan awal dari proses Islamisasi yang lebih
terkordinir, yang sebelumnya proses penyebaran hanya melalui sanak saudara
kemudian menjadi lebih luas.
Islamisasi yang diusahakan di Cirebon
sendiri tidak serta merta diterima oleh masyarakat, karena pada dasarnya
Cirebon merupakan bekas daerah kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran, kerajaan
bercorak Hindu-Budha. Proses Islamisasi di Cirebon sangat berkaitan dengan
kehidupan masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan lama bercampur dengan
agama-agama yang pernah masuk, hingga sekarang agama Islam masuk pun ciri
percampuran budayanya masih terasa, diantaranya adanya perayaan Panjang Jimat
dan Rasulan.
3. Pengaruh Islam pada
Masa Kerajaan Cirebon
Sunan Gunung Jati
Syarif Hidayatullah yang pada tahun 1479 M mendapat restu dari Pangeran
Cakrabuana dan Dewan Wali Sanga yang diketuai oleh Sunan Ampel telah
menghentikan hulu bekti/upeti kepada kerajaan Pajajaran yang menandakan telah
berdirinya Cirebon. Cirebon dibawah kekuasaan Sunan Gunung Jati melepaskan diri
dari kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran dan menjadi Negara Kerajaan Islam yang
berdaulat. Kerajaan Sunda Pajajaran sendiri pada saat itu dipimpin oleh raja
yang bergelar Sri Paduka (Baduga) Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama
Prabu Siliwangi.
Proses Islamisasi Sunan Gunung Jati
tidak dilakuka dengan cara yang revolusioner, melainkan dengan cara yang mudah
diterima, yakni dengan memperbaiki yang telah ada. Sunan Gunung Jati menjadi
Sultan di Cirebon pada tahun 1479 hingga 1568. Budaya Hindu yang merupakan
agama peninggalan Pajajaran tidak dihapuskan, melainkan diselaraskan dengan
ajaran Islam. Berbagai peninggalan pasca proses Islamisasi yang dilakukan oleh
Sunan Gunung Jati masih terlihat hingga saat ini. Proses maupun hasil dari
Islamisasi Sunan Gunung Jati memiliki keunikan dan menarik untuk dikaji lebih
mendalam.
B. Kesultanan Demak
1. Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Demak
Menjelang
akhir abad ke-15, seiring dengan kemuduran Majapahit,
secara praktis beberapa wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Bahkan
wilayah-wilayah yang tersebar atas kadipaten-kadipaten saling serang, saling
mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit.
Sementara
Demak yang berada di wilayah utara pantai Jawa muncul sebagai kawasan yang
mandiri. Dalam tradisi Jawa digambarkan bahwa Demak merupakan penganti langsung
dari Majapahit, sementara Raja Demak (Raden Patah) dianggap sebagai putra
Majapahit terakhir. Kerajaan Demak didirikan oleh kemungkinan besar seorang
Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po.
Kemungkinan
besar puteranya adalah "Badruddin" atau "Kamaruddin" dan
meninggal sekitar tahun 1504.
Putera atau adik Rodim, yang bernama Trenggana
bertahta dari tahun 1505
sampai 1518,
kemudian dari tahun 1521
sampai 1546.
Di antara kedua masa ini yang bertahta adalah iparnya, Raja Yunus (Pati Unus)
dari Jepara.
Sementara pada masa Trenggana sekitar tahun 1527 ekspansi militer
Kerajaan Demak berhasil menundukan Majapahit.
Lokasi
keraton Demak, yang pada masa itu berada di tepi laut, berada di kampung
Bintara (dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa),
saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Sebutan kerajaan pada periode ketika beribukota
di sana dikenal sebagai Demak Bintara. Pada masa raja ke-4 ibukota
dipindahkan ke Prawata (dibaca "Prawoto") dan untuk periode ini
kerajaan disebut Demak Prawata.
2. Proses Masuknya Islam
di Kesultanan Demak
Trenggana
berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawahnya, Demak
mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa
dari Pajajaran
serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527),
Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung
timur pulau Jawa (1527, 1546). Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah
pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto.
Salah seorang panglima perang Demak
waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera),
yang juga menjadi menantu raja Trenggana. Sementara Maulana Hasanuddin putera Sunan Gunung Jati[4]
diperintah oleh Trenggana untuk menundukkan Banten Girang. Kemudian hari
keturunan Maulana Hasanudin menjadikan Banten
sebagai kerajaan mandiri. Sedangkan Sunan Kudus
merupakan imam di Masjid Demak juga pemimpin utama dalam penaklukan Majapahit
sebelum pindah ke Kudus.
Pada tahun 1524-1525, Sultan Demak,
Trenggana, mengutus Sunan Gunung Djati dengan membawa pasukan menuju ke wilayah
Banten yang ketika itu merupakan wilayah bawahan Padjadjaran. Penguasa Banten
ternyata menerima kedatangan Sunan Gunung Djati dan membantu proses Islamisasi
di wilayah itu. Pada tahun berikutnya Banten menjadi kerajaan bawahan Demak.
Langkah selanjutnya yang diambil adalah
usaha menaklukkan pelabuhan Sunda Kelapa. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan
yang paling menonjol di wilayah kekuasaan Padjadjaran pada masa itu. Serangan
terhadap Sunda Kelapa dilakukan pada tahun 1527 di bawah kepemimpinan Fatahilah
yang merupakan menantu Sunan Gunung Djati. Bersama sejumlah hampir 1.500
tentara, Fatahilah berhasil merebut kota pelabuhan itu dari tangan Padjadjaran.
Sejak itu, nama Sunda Kelapa berganti menjadi Jayakarta yang merupakan cikal
bakal kota Jakarta
3. Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Demak
Berdirinya kerajaan Demak banyak didorong oleh latar belakang untuk
mengembangkan dakwah Islam. Oleh karena itu tidak heran jika Demak gigih
melawan daerah-daerah yang ada dibawah pengaruh asing. Berkat dukungan Wali
Songo , Demak berhasil menjadikan diri sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa
yang memiliki pengaruh cukup luas. Untuk mendukung dakwah pengembangan agama
Islam, dibangun Masjid Agung Demak sebagai pusatnya. Kehidupan sosial dan
budaya masyarakat Demak lebih berdasarkan pada agama dan budaya Islam karena
pada dasarnya Demak adalah pusat penyebaran Islam di pulau Jawa. Sebagai pusat
penyebaran Islam Demak menjadi tempat berkumpulnya para wali seperti Sunan
Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Bonar. Para wali tersebut memiliki
peranan yang penting pada masa perkembangan kerajaan Demak bahkan para wali
tersebut menjadi penasehat bagi raja Demak.
C. Kesultanan Banten
1. Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Samudera
Pasai dan Proses Masuknya Islam di Kerajaan Banten
Pada awalnya
kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang
merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak
di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut
selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu
oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang
ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan
Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal
dari Melaka
tahun 1513.
Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah
melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa
sekitar tahun 1527,
yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
Selain mulai
membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan
perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung.
Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga
telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar
Syah dan dianugerahi keris
oleh raja tersebut.
Seiring dengan
kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana,[6]
Banten yang sebelumnya vazal
dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana
Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi Banten
ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran
tahun 1579.
Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang
tahun 1596
sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara,
namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.
Pada
masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa
yang mengambil gelar "Sultan"
pada tahun 1638
dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir.
2. Pengaruh Islam pada
Masa Kesultanan Banten
Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat Banten dipengaruhi
oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha, seperti Tarumanagara,
Sriwijaya
dan Kerajaan Sunda.
Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati
bersama Maulana Hasanuddin, melakukan penyebaran
agama Islam
secara intensif kepada penguasa Banten Girang
beserta penduduknya. Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi
di Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah
kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan
Pajajaran.
Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten
dirujuk memiliki silsilah sampai kepada Nabi Muhammad,
dan menempatkan para ulama
memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat
maupun tasawuf
juga berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam sebagai
bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi oleh
perkembangan Islam di masyarakat, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.
Kadi
memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain
bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga
dalam penegakan hukum
Islam seperti hudud.[21]
Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau
didominasi oleh muslim,
namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di
mana sekitar tahun 1673
telah berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.
D. Kerajaan Pajang
1. Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Pajang
Kerajaan
Pajang adalah
satu kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah
sebagai kelanjutan Kerajaan Demak. Kompleks keratonnya
pada zaman ini tinggal tersisa berupa batas-batas fondasinya saja yang berada
di perbatasan Kelurahan Pajang - Kota Surakarta
dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.
Nama
negeri Pajang telah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit. Menurut Nagarakretagama
yang ditulis tahun 1365, bahwasanya pada zaman tersebut adik perempuan Hayam Wuruk
(raja Majapahit
saat itu) bernama asli Dyah Nertaja menjabat
sebagai penguasa Pajang, bergelar Bhatara i Pajang, atau disingkat Bhre Pajang. Dyah Nertaja merupakan
ibu dari Wikramawardhana (raja Majapahit
selanjutnya).
Berdasar
naskah-naskah babad, bahwa negeri Pengging
disebut sebagai cikal bakal Pajang. Cerita Rakyat yang melegenda menyebut bahwa
Pengging sebagai kerajaan kuno yang pernah dipimpin Prabu Anglingdriya, musuh
bebuyutan Prabu Baka raja Prambanan. Kisah ini dilanjutkan dengan dongeng
berdirinya Candi Prambanan.
Ketika
Majapahit
dipimpin oleh Brawijaya (raja terakhir versi naskah babad), bahwa
nama Pengging muncul kembali. Dikisahkan bahwa putri Brawijaya
yang bernama Retno Ayu Pembayun diculik Menak Daliputih raja Blambangan
putra Menak Jingga. Muncul
seorang pahlawan bernama Jaka Sengara yang berhasil
merebut sang putri dan membunuh penculiknya.
Atas
jasanya itu, kemudian Jaka Sengara diangkat oleh Brawijaya
sebagai bupati Pengging dan dinikahkan dengan Retno Ayu Pembayun. Jaka Sengara
kemudian bergelar Andayaningrat.
Pajang
terlihat sebagai kerajaan pertama yang muncul di pedalaman Jawa setelah
runtuhnya kerajaan Muslim di daerah Pasisir.
Menurut
naskah babad, Andayaningrat gugur di tangan Sunan Ngudung
saat terjadinya perang antara Majapahit dan Demak.
Ia kemudian digantikan oleh putranya, yang bernama Raden Kebo Kenanga, bergelar
Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging
menjadi daerah bawahan Kerajaan Demak.
Beberapa
tahun kemudian Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh
hendak memberontak terhadap Demak.
Putranya yang bergelar Jaka Tingkir setelah dewasa justru mengabdi ke Demak.
Prestasi
Jaka Tingkir
yang cemerlang dalam ketentaraan membuat ia diangkat sebagai menantu Trenggana,
dan menjadi bupati Pajang bergelar Hadiwijaya.
Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali
dan Klaten),
Tingkir (daerah Salatiga), Butuh, dan sekitarnya.
Sepeninggal
Trenggana tahun 1546, selanjutnya Sunan Prawoto
naik takhta. Namun Sultan Prawoto kemudian tewas dibunuh sepupunya, yaitu Arya Penangsang
bupati Jipang tahun 1549. Setelah itu, Arya Penangsang
juga berusaha membunuh Hadiwijaya namun gagal.
Dengan
dukungan Ratu Kalinyamat (bupati Jepara
dan puteri Trenggana), Hadiwijaya dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya Penangsang.
Hadiwijaya selanjutnya menjadi pewaris takhta Demak. Pada masa kepemimpinan
Hadiwijaya ini, ibu kota Demak dipindahkan ke Pajang.
2. Proses Masuknya Islam
di Kerajaan Pajang
Kerajaan Demak merupakan Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang
didirikan pada tahun 1500 M, oleh Raden Patah yang merupakan keturunan dari
Raja Kertabhumi. Sebagai Kerajaan Islam pertama di Jawa, Kerajaan Demak sangat
berpengaruh dalam proses Islamisasi pada masa itu, apalagi dengan bantuan para
wali sanga yang juga ikut berperan besar dalam masa kejayaan Kerajaan Demak.
Kerajaan Demak mengalami proses pergantian kepemimpinan selama 4 kali, yakni
Raden Patah (1500 – 1518), Adipati Unus (1518 – 1521), Sultan Trenggana (1521 –
1546), Raden Prawata (1546 – 1549). Namun sayangnya, kerajaan Demak tidak
berumur panjang. Setelah hampir 50 tahun berdiri, kerajaan Demak mengalami
keruntuhan yang diakibatkan oleh beberapa faktor. Salah satu penyebab faktor
runtuhnya Kerajaan Demak adalah adanya perebutan kekuasaan antara Arya
Penagsang dengan Adiwijaya atau yang lebih dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir.
Ia adalah seorang menantu Sultan Trenggono yang berkuasa di Pajang ( daerah
Boyolali). Di dalam pertempuran-pertempuran itu Jaka tingkir akhirnya mampu
mengalahkan Arya Penangsang dan memindahkan pusat Kerajaan Demak ke Pajang pada
tahun 1568. ( Muljana: 2005). Dari uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa
Kerajaan Pajang merupakan lanjutan dari Kerajaan Demak yang didirikan ole Jaka
tingkir yang masih keturunan dari Demak, yang tak lain adalah menantu dari
Sultan Trenggono. Walaupun dalam bukunya Muljana di jelaskan bahwa Kerajaan
Demak telah benar-benar runtuh pada tahun 1546, tapi ketika Jaka Tingkir telah
berhasil mengalahkan Arya Penangsang, ia lalu memindahkan keraton Demak ke
Pajang, dan mendirikan Kerajaan baru yang disebut dengan Kerajaan Pajang.
Dari uraian diatas, kami selaku penyusun makalah ini dapat menyimpulkan
bahwa Islamisasi di Kerajaan Pajang sudah ada sejak adanya Kerajaan Demak sebab
Kerajaan Pajang merupakan lanjutan dari Kerajaan Demak.
3. Pengaruh Islam pada
Masa Kerajaan Pajang
Bergesernya pusat pemerintahan Kerajaan Pajang dari pesisir ke pedalaman
berpengaruh terhadap kegiatan perekonomian. Perhatian terhadap pengembangan
kegiatan pertanian makin meningkat.
Hasil-hasil di bidang pertanian juga makin meningkat. Hasil-hasil
pertanian itu, antara lain bera, gula, dan palawija. Dengan demikian, ciri-ciri
sebagai kerajaan agraris mulai tampak. Kegiatan pelayaran dan perdagangan juga
masih berlangsung, tetapi kurang mendapat perhatian dan penguasa.
Perpindahan pusat pemerintahan dari pesisir ke pedalaman juga berpengaruh
terhadap pola kehidupan masyarakat. Penyebaran
agama Islam berkembang ke arah pedalaman. Sistem kehidupan feodal mulai
terasa. Sultan memiliki kekuasaan dan kedudukan yang sangat tinggi, sementara
rakyat begitu patuh kepada rajanya. Berbeda dengan kehidupan masyarakat pesisir
yang lebih bebas dan dinamis, masyarakat di pedalaman hidup dengan penuh
kehati-hatian. Mereka mengutamakan kebersamaan atau kegotongroyongan. Sikap
pasrah dan tunduk kepada pemimpin menjadi ciri masyarakat petani.
E. Kesultanan Mataram
1. Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Mataram
Pemerintahan
Kerajaan Pajang Arya Panggiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam
terhadap Mataram dan kehidupan rakyatnya terabaikan. Raja baru ini
tindakan-tindakannya sangat merugikan rakyatnya sehingga menimbulkan rasa tidak
senang di mana-mana. Keadaan ini membuat Pangeran Benowo yang sudah tersingkir
ke ke Jipang menjadi merasa sedih dan prihatin. Keadaan ini merupakan
kesempatan yang baik bagi pangeran Benowo untuk merebut kembali kekuasaannya.
Pada
tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan senopati dari mataram yaitu Danang
Sutawijaya untuk menyerbu Pajang, Danang Sutawijaya juga sangat menginginkan
robohnya Kerajaan Pajang dan sudah dari dahulu mengambil langkah-langkah untuk
melepaskan daerahnya dari kekuasaan Kerajaan Pajang itu. Kerajaan Pajang diserah
dari dua arah, dan Aria Panggiri menyerah kepada Senopati, Pangeran
Benowo sendiri tidak akan sanggup kalau harus menghadapi kawannya ( Senopati )
sendirian, maka beliau harus bersedia mengakui kekuasaan Senopati. Perang
antara Kerajaan Pajang melawan Kerajaan Mataram dan Jipang pun berakhir dengan
kekalahan Arya Panggiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak.
Keraton
Pajang dipindahkan ke Mataram, dan mulailah kini riwayat Kerajaan Mataram tahun
1586. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja di Pajang yang ketiga. Pemerintahan
Pangeran Benawa berakhir pada tahun 1587. Tidak ada putera mahkota yang
menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan negeri bawahan oleh Mataram. Yang
menjadi Bupati adalah Pangeran Gagak Baning, adik Danang Sutawijaya.
Sutawijaya
naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang
sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya
hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang.
Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta
dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton (tempat kedudukan
raja) pada masa awal terletak di Banguntapan,
kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan
di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang
yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan
Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama
karena dia wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak.
Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan
Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah
itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro
menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang
yang bernama Mas Rangsangpada masa pemerintahan Mas Rangsang,Mataram
mengalami masa keemasan.
2. Proses Masuknya Islam
di Kesultanan Mataram
Islamisasi di Kerajaan Mataram Islam adalah secara
tidak langsung disebabkan kerajaan ini dahulu adalah kadipaten (wilayah bagian)
Kerajaan Pajang seperti yang sudah dibahas. Kerajaan Pajang dahulunya Kerajaan
Demak, kerajaan bercorak Islam pertama di Jawa, maka, asal mula Islamisasi
Kesultanan Mataram ini tidak lepas dari Islamisasi di Pulau Jawa dan peran
Kerajaan Demak.
3. Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Mataram
Kerajaan Mataram adalah kelanjutan dari
Kerajaan Demak dan Pajang. Kerajaan ini menggantungkan kehidupan ekonominya
dari sektor agraris. Hal ini karena letaknya yang berada di pedalaman. Akan
tetapi, Mataram juga memiliki daerah kekuasan di daerah pesisir utara Jawa yang
mayoritas sebagai pelaut. Daerah pesisir inilah yang berperan penting bagi arus
perdagangan Kerajaan Mataram.Kebudayaan yang berkembang pesat pada masa Kerajaan
Mataram berupa seni tari, pahat, suara, dan sastra. Bentuk kebudayaan yang
berkembang adalah Upacara Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan
Hindu-Budha dengan Islam.Di samping itu, perkembangan di bidang kesusastraan
memunculkan karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Kitab Sastra Gending yang
merupakan perpaduan dari hukum Islam dengan adat istiadat Jawa yang disebut
Hukum Surya Alam.
Upacara Garebeg yang bersumber pada pemujaan roh nenek
moyang berupa kenduri gunungan yang merupakan tradisi sejak zaman Majapahit
dijatuhkan pada waktu perayaan hari besar Islam sehingga muncul Garebeg Syawal
pada hari raya Idul Fitri dan Garebeg Maulud pada bulan Rabiulawal.
Hitungan tahun yang sebelumnya merupakan tarikh Hindu
yang didasarkan pada peredaran matahari (tarikh samsiah) maka sejak tahun 1633
diubah menjadi tarikh Islam yang berdasarkan pada peredaran bulan (tarikh
komariah). Tahun Hindu 1555 diteruskan dengan perhitungan baru dan dikenal
dengan tahun Jawa.
F. Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat
1. Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat
Pemerintahan Kasultanan
Yogyakarta mulanya diselenggarakan dengan menggunakan susunan pemerintahan
warisan dari Mataram.
Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan besar yaitu Parentah Lebet
(urusan dalam) yang juga disebut Parentah Hageng Karaton, dan Parentah
Jawi (urusan luar) yang juga disebut Parentah Nagari. Sultan
memegang seluruh kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan kewajibannya
sehari-hari Sultan
dibantu lembaga Pepatih Dalem yang bersifat personal.
Nama
Yogyakarta adalah perubahan bentuk dari Yodyakarta. Yodyakarta berasal dari
kata Ayodya dan Karta. Ayodya diambil dari nama kerajaan dalam kisah Ramayana,
sementara karta berarti ramai.
Dengan
ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral
Jacob Mossel,
maka Kerajaan Mataram dibagi dua. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan
dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I dan berkuasa atas
setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu Sunan Pakubuwana III tetap berkuasa atas
setengah daerah lainnya dengan nama baru Kasunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap
dikuasai VOC.
Sultan Hamengkubuwana I kemudian segera membuat
ibukota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka daerah baru (jawa:
babat alas) di Hutan Paberingan yang
terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code.
Ibukota berikut istananya tersebut tersebut dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dan landscape
utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober
1756. Para
penggantinya tetap mempertahankan gelar yang digunakan, Hamengku Buwono. Untuk
membedakan antara sultan yang sedang bertahta dengan pendahulunya, secara umum,
digunakan frasa " ingkang jumeneng kaping...ing Ngayogyakarta
Hadiningrat " (bahasa Indonesia: "yang bertakhta ke ....
di Yogyakarta"). Selain itu ada beberapa nama khusus atau gelar bagi
Sultan, antara lain Sultan Sepuh (Sultan yang Sepuh/Tua) untuk Hamengkubuwana
II, Sultan Mangkubumi (Sultan Mangkubumi) untuk Sultan Hamengkubuwana VI, atau
Sultan Behi (Sultan Hanga[Behi]) untuk Sultan Hamengkubuwana VII.
2. Proses
Masuknya Islam di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Kerajaan Demak merupakan penyebar Islam ditanah Jawa sampai pada
kerajaan yang merupakan kelanjutan dari sejarah Kerajaan Demak yaitu Kerajaan
Pajang, Kerajaan Mataram hingga ke Kerajaan atau Kesultanan Ngayokyakarta
Diningrat.
Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupakan
kepercayaan resmi kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang
kepercayaan dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Walaupun
demikian kepercayaan-kepercayaan lokal (baca kejawen) masih tetap dianut rakyat
disamping mereka menyatakan diri sebagai orang Islam. Berbagai ritus
kepercayaan lokal masih dijalankan namun doa-doa yang dipanjatkan diganti
dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menujukkan sebuah kepercayaan baru yang
merupakan sinkretis antara kepercayaan Islam dan kepercayaan lokal. Gerakan puritan
untuk membersihkan Islam dari pengaruh kepercayaan lokal dan westernisasi baru
muncul pada 1912
dari kalangan Imam Kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya kawasan Kauman
Yogyakarta yang menjadi tempat tinggal para Imam Kerajaan menjadi pusat gerakan
puritan itu.
3. Pengaruh Islam pada
Masa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupakan
kepercayaan resmi kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang
kepercayaan dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Walaupun
demikian kepercayaan-kepercayaan lokal (baca kejawen) masih tetap dianut rakyat
disamping mereka menyatakan diri sebagai orang Islam. Berbagai ritus
kepercayaan lokal masih dijalankan namun doa-doa yang dipanjatkan diganti
dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menujukkan sebuah kepercayaan baru yang
merupakan sinkretis antara kepercayaan Islam dan kepercayaan lokal.
G. Kesultanan Surakarta Hadiningrat
1. Latar
Belakang Lahirnya Kesultanan Surakarta Hadiningrat
Kesultanan Mataram yang runtuh akibat
pemberontakan Trunajaya tahun 1677
ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan Pakubuwana
II memegang tampuk pemerintahan keraton Mataram mendapat serbuan
dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742. Kerajaan Mataram
yang berpusat di Kartasura itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil
direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV
penguasa Madura barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak
parah. Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo,
kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota
kerajaan Mataram yang baru.
Bangunan
Keraton Kartasura yang sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II
lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama
kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung
Arungbinang I), bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda,
J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton
yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari
Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo.
Untuk pembangunan kraton ini, Pakubuwono II membeli tanah seharga selaksa
keping emas[1]
yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gede Sala. Di tengah
pembangunan Kraton, Ki Gede Sala meninggal dan dimakamkan di area kraton.
Nama
"Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat
pemerintahan baru ini. Pembangunan keraton ini menurut catatan menggunakan
bahan kayu jati
dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri
dan kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai
ditempati tanggal 17 Februari 1745
(atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa,
Wuku Landep, Windu Sancaya).
Berlakunya
Perjanjian Giyanti (13 Februari
1755) menyebabkan
Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Pakubuwana III.
Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Sultan Hamengkubuwana I.
Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata
kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun. Perjanjian Salatiga 1757 memperkecil wilayah
Kasunanan, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I).
Kerajaan
Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibukota pemerintahan kemudian
dihadapkan pada pemberontakan yang besar karena Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II
tahun 1746
yang meninggalkan keraton menggabungkan diri dengan Raden Mas Said.
Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit tahun 1749. Namun, ia sempat
menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC, yang diwakili oleh Baron von Hohendorff.
Sejak saat itu, VOC lah yang dianggap berhak melantik raja-raja keturunan
Mataram.
Pada
tanggal 13 Februari
1755 pihak VOC yang
sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai
untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said
yang tidak mau berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas
Said. Perjanjian Giyanti yang ditanda-tangani oleh Pakubuwana III,
Belanda, dan Mangkubumi, melahirkan dua kerajaan baru yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram mengambil gelar Sultan
Hamengkubuwana, sedangkan raja Kasunanan Surakarta mengambil gelar Sunan Pakubuwana.
Seiring dengan berjalannya waktu, negeri Mataram yang dipimpin oleh
Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan nama Kasultanan Yogyakarta, sedang
negeri Mataram yang dipimpin oleh Pakubuwana terkenal dengan nama Kasunanan
Surakarta.
2. Proses Masuknya Islam
di Kesultanan Surakarta Hadiningrat
Sejak
runtuhnya kerajaan Majapahit pada tahun 1400 M, agama Islam mulai tumbuh di
Tanah Jawa. Hal ini ditandai dengan munculnya kerajaan Demak di Jawa Tengah.
Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama dan terbesar di pantai utara
Jawa (pesisir). Pada perkembangannya, muncul pula Kerajaan Pajang, selanjutnya
Mataram, Kartasura dan yang terakhir Surakarta Hadiningrat. Seiring penyebaran
ajaran agama Islam yang semakin luas, kerajaan-kerajaan tersebut memiliki andil
yang besar. Terlebih kelima kerajaan tersebut merupakan kerajaan Islam. Secara
otomatis pedoman dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari bersumber dari ajaran
agama Islam.
3. Pengaruh
Islam pada Masa Kesultanan Surakarta Hadiningrat
Selain
sebagai pusat syiar agama Islam, keraton juga turut menyumbangkan andil dalam
lahirnya tradisi-tradisi kebudayaan. Pencampuran berbagai budaya menyebabkan ragam
upacara-upacara tradisi semakin beragam. Antara budaya Islam, kejawen, dan juga
tradisi Hindhu-Budha sebagai sisa-sisa dari budaya Kerajaan Majapahit berbaur
menjadi satu. Proses akulturasi tersebut terjadi seiring berjalannya waktu.
Salah
satu contoh upacara tradisi yang berhubungan dengan budaya Islam adalah upacara
sekatenan di keraton Surakarta Hadiningrat. Upacara tersebut merupakan upacara
peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Upacara tersebut berhasil menyedot
antusiasme masyarakat untuk menyaksikan jalannya upacara. Hal ini merupakan
tradisi keraton yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Solo dan sekitarnya.
Sekaten merupakan sebuah upacara keraton yang dilaksanakan selama
tujuh hari. Konon, asal-usul upacaa ini telah muncul sejak zaman Kerajaan
Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad
SAW. Menurut cerita rakyat, kata sekaten berasal dari istilah kredo dalamagama
Islam, yaitu Syahadatain.
Sekaten
berhubungan erat dengan proses Islamisasi di Tanah Jawa. Dahulu kala, pada saat
Kerajaan Demak ada wali songo yang sedang menyebarkan ajaran agama Islam.
Mereka menggunakan berbagai macam cara berdakwah, diantaranya menggunakan media
budaya. Pada waktu itu orang Jawa masih menganut paham Hindhu, kepercayaan Animisme
dan Dinamisme yang masih kuat. Para ulama sepakat untuk mengislamkan masyarakat
Jawa. Sebelum Islam masuk, masyarakat Jawa sudah gemar akan gamelan. Gamelan
biasanya dipakai sebagai pengiring dalam pertunjukan wayang, pengiring gendhing
Jawa. Maka oleh para wali menggunakan gamelan sebagai media dakwah.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Demak pada awalnya merupakan sebuah kadipaten yang ada
di bawah kekuasaan dari Kerajaan majapahit. Disaat Majapahit itu runtuh, maka
Demak kemudian mulai memisahkan diri dari Ibu Kota di Bintoro. Kerajaan Demak
adalah kerajaan islam yang pertama ada di Jawa dan berpengaruh besar pada
lahirnya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa serta merupakan awal Islamisasi
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
B. SARAN
Belajar dari sejarah adalah yang
terpenting karena dengan mempelajari, menganalisa dan memahami apa yang terjadi
dengan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Jawa maka melahirkan pemahaman
tersendiri bahkan melahirkan prinsip hidup kami bahwa “KESOMBONGAN BISA HILANG JIKA
MENGENANG SEJARAH”.
Lihat saja buktinya bahwa lahirnya
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa bahkan lahirnya raja atau kesultanan di Jawa
merupakan keturunan dari Majapahit yang kemudian lahir Kerajaan Demak hingga
membentuk kerajaan-kerajaan selanjutnya dengan tali keluarga yang
berkesinambungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar