Minggu, 08 Mei 2016

Kerajaan Islam di Kalimantan



BAB I
PENDAHULUAN



A.   LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
       Kita tidak bisa melupakan sejarah apalagi tentang sejarah peradaban Islam, sebab ilmu agama juga lahir pada jaman dulu, sedangkan jaman dulu adalah sejarah, berarti ilmu agama tinggal sejarah. Oleh karena itu ilmu agama dan peradaban Islam yang melahirkan pejuang-pejuang Islam sangat penting dipelajari karena ilmu agama serta sejarah masuknya Islam diberbagai negeri harus dipelajari karena ilmu agama atau sejarahnya tidak akan usang dimakan waktu.
       Kami selaku penyusun sangat senang dengan tugas makalah tentang kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan, sebab proses masuknya Islam di Kalimantan sangat mudah karena terdapat sungai Barito yang ramai dilalui. Perihal lain yang memudahkan masuknya Islam di Kalimantan adalah karena berdekatan dengan Brunai Darussalam dan Johor Malaysia. Jalur perdagangan yang telah memudahkan Islam masuk ke wilayah Kalimantan.

B.   RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimana latar belakang lahirnya setiap kerajaan Islam di Kalimantan ?
2.    Bagaimana proses masuknya Islam pada kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan ?
3.    Bagaimana pengaruh Islam pada kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Kalimantan ?

C.   TUJUAN PENULISAN
       1.    Memahami latar belakang lahirnya setiap kerajaan Islam di Kalimantan.
       2.    Mempelajari proses masuknya Islam pada kerajaan-keraajn Islam di Kalimantan.
       3.    Mengetahui pengaruh Islam pada kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan
D.   MANFAAT PENULISAN
              Adapun manfaat penulisan kerajaan-kerajaan Islam adalah :
1.         Untuk mengatahui lintas peristiwa, waktu dan kejadian yang berhubungan dengan kebudayaan Islam
2.         Untuk mengetahui tempat-tempat bersejarah dan para tokoh yang berjasa dalam perkembangan Islam
3.         Untuk memahami bentuk peninggalan bersejarah dalam kebudayaan Islam dari satu periode ke periode berikutnya.
4.         Mengambil hikmah setiap kejadian di masa lampau untuk menembah ketakwaan kepada Allah SWT.
5.         Mengambil pelajaran dari sejarah sebagai bahan pertimbangan ketika hendak membuat keputusan tentang suatu hal
6.         Mencari upaya antisipasi agar kekeliruan pada masa lalu tidak terjadi lagi pada masa yang akan datang
7.         Dapat memahami dan meneladani kisah-kisah yang baik pada zaman dahulu
8.         Menumbuhkan rasa cinta kepada kebudayaan Islam yang merupakan buah karya kaum muslimin masa lalu
9.         Memahami berbagai hasil pemikiran dan hasil karya para ulama untuk diteladani dalam kehidupan sehari hari.


BAB II
PEMBAHASAN

LATAR BELAKANG, PROSES MASUKNYA ISLAM DAN PENGARUH ISLAM PADA KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN

A.   Kerajaan Pasir
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Pasir
Dahulunya rakyat Dayak pasir dipimpin oleh kepala-kepala dari rakyat Dayak sendiri. Ada seorang kepala suku Dayak yang sangat berpengaruh bernama Temanggung Tokio, dia mengusulkan agar di daerah-daerah agar dikepalai oleh seorang kepala saja dan untuk itu diminta sultan yang dekat tempat tinggalnya.  Kemudian mereka berangkat dengan perahu yang penuh bermuatan emas dan perak yang akan dianugerahkan kepada raja yang baru, tetapi ia tak mendapatkan seorang pun yang dipandang cakap. Temanggung Tokio sangatlah sedih sampai ia tidak makan dan minum, kemudian di dalam mimpinya ia melihat seorang yang tua yang berkata padanya: “Untuk mendapat raja engkau pergilah ke laut, dan di situ engkau akan memperoleh sepotong bambu yang tiga ruasnya terapung-apung di laut, ambillah bambu itu dan bungkus dengan sutra kuning, di dalam bambu itu ada sebutir telur yang harus diberi asap dupa, menyan, dan gaharu, dan dari telur itu nanti melahirkan raja perempuan”.
       Temanggung Tokio pun menuruti pesan orang tua dalam mimpinya, sesudah tiga hari tiga malam telur itu didupakan, maka terbelah dualah bambu itu dan dari dalam telur itu pun pecah pula dan dilahirkan seorang bayi puteri yang cantik jelita. Anak itu sama sekali tidak mau menyusu, setelah berusaha dapatlah ia diberi makanan dengan susu kerbau putih.
Puteri inilah yang diangkat menjadi Ratu Pasir, dan waktu ia berusia 15 tahun ia telah dinikahkan, tetapi malang sekali ia tidak dapat keturunan sehingga harus diceraikan beberapa kali. Ketika dia telah menikah yang ketujuh kali, masih belum juga mempunyai anak, kemudian datanglah seorang Arab dari Jawa (Gresik) yang beragama Islam, terus ia dinikahkan dengan sang puteri. Orang Arab tadi kemudian mencari tabib yang dapat membuang sari bambu yang ada pada sang puteri sehingga bisa melahirkan dua puteri dan satu putera. Puteri yang tertua (Putri Adjie Meter) kemudian menikah.[1] Ajaran agama Islam masuk ke Kerajaan Pasir bersamaan dengan pernikahan antara Putri Adjie Meter dengan seorang keturunan Arab dari Mempawah, Kalimantan Barat. Suami dari Putri Adjie Meter inilah yang kemudian membawa pengaruh bahkan menyebarkan ajaran agama Islam ke Kerajaan Pasir sekitar tahun 1600 M.[2]
2.    Proses Masuknya Islam di Kerajaan Pasir
a.         Jalur perkawinan-perkawinan dilakukan oleh Abu Mansyur Indra Jaya dengan Putri Petong, dari Kerajaan Paser raja komunitas Paser. Begitu juga perkawinan Sayyid Ahmad Khairuddin yang kawin dengan Aji Mitir anak Putri Petong dengan Abu Mansyur Indra Jaya.
b.        Jalur perdagangan sungai Kendilo merupakan sungai besar pada zaman mereka, yang selalu dilalui para pedagang dari berbagai daerah Nusantara, termasuk pedagang dari Arab. Interaksi antara masyarakat Kerajaan Paser dengan para pedagang muslim menyebabkan sebagian masyarakat penduduk tertarik untuk memeluk agarna Islam.
c.         Dalam sebuah cerita rakyat, Putri Petong sebelum kawin dengan Abu Mansyur Indra Jaya, sudah beberapa kali kawin, akan tetapi jika akan berhubungan badan dengan lelaki, jika tidak lari dari peraduan atau mati. Hal ini disebabkan sari bambu yang melekat pada Putri Petong. Kawinlah dengan Abu Mansyur Indra Jaya yang dapat menyembuhkan penyakit tersebut.[3]
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Pasir
       Jauh sebelum mengenal agama, di daerah Paser ini, masyarakat Paser mengenal kepercayaan animisme supernatural, syamanisme dan sebagainya, mereka terikat dengan makhluk-makhluk halus, roh-roh halus, kekutan-kekuatan gaib dan kekuatan-kekuatan sakti. Di daerah Paser, dikenal dengan ilmu gaib, sebagai bentuk kepercayaan “Kuno” yang mempercayai adanya kekuatan maha dasyat terdapat di alam semesta. Desa yang diartikan sebagai penguasa tertinggi dalam kekuasaannya menguasai seluruh alam semesta, dalam sistem ini terlihat dalam tata cara pelaksanaan untuk maksud-maksud tertentu, misalkan pada saat pembukaan hutan untuk lahan perladangan atau persawahan, menanam padi dan sebagainya yang dilaksanakan oleh seorang dukun / mulung, yang mengetahui jampi-jampi atau soyong dalam bahasa Paser, diucapkan kata-kata permohonan sesuai dengan yang diharapkan.
       Sayyid Ahmad Khairuddin keturunan Arab yang diberi Gelar Sayyid keturunan Arab kalangan Alawiyyah sebagai keturunan Nabi, dan mereka menyebutkan diri sebagai "Ahlul Bayit” yang menjadi pengruh besar di Kerajaan Pasir.
       Di Kerajaan Paser sendiri sangat jelas bahwa Sayyid Ahmad Khairuddin mendapat gelar Sayyid Imam Pawa. Sayyid Ahmad Khairuddin masih berkaitan erat dengan Maulana Malik Ibrahim keturunan Zainal Abidin bin Husain bin Ali R.A .
       Beberapa lama tinggal di Kerajaan Paser akhimya Sayyid Ahmad Khairuddin kawin dengan Aji Putri Mitir anak Putri Petong dengan Abu Mansyur Indra Jaya. Saudara dari Aji Mas Pati Indra, bibi Aji Mas Anom Indra. Sumber lain mengatakan bahwa yang menjadi Imam pada masa itu adalah Imam Mustafa (Vr, sumber dari Aji Zainal Abidin dan kawan-kawan). Lebih kurang 15 tahun menyiarkan agama Islam di Kerajaan Paser, Sayyid Ahmad Khairuddin menunaikan ibadah haji. Sebelum berangkat haji, pada saat anak dia naik ayunan Sayyid Ahmad Khairuddin menciptakan sebuah nyanyian yang dinamakan 'Nyanyian Fatimah" dengan bait syair seperti berikut :
"Bismillahirrahmanirrahim"
Huu Allah, Allah wal Awwal, Allah Huu, wal Akhir
Allah huu, Allah Allahu wal Bathin, Allah Wadh-Dhahir
Allah huu, Allah maidandam ilham
Allahu huu Allahu, air zam-zam karam di laut Bahaarullah.
Ayun-ayun silangka pulan
Ayun putra / putri ku jaya
Yaa hunaini silangka pulan
Wannahiruun-wannahiruun
Yaa hayyu yaa Qayyuum
Yaa hannanu yaa Burhan

       Ketika Sayyid Ahmad Khairuddin yang menjadi guru dari raja Paser Aji Mas Anom Indra diangkat menjadi imam di kerajaan Paser, Sareat Islam pun diperlakukan dalam kerajaan Paser, sehingga Islam masuk dalam struktur kekuasaan kerajaan Paser, sehingga islam menyebar dikalangan rakyat Paser. Setelah Sayyid Ahmad Khairuddin menunaikan ibadah haji, rupanya takdir Allah menghendaki Sayyid Ahmad Khairuddin di Makatul Musyarrafah. Siar Islam dilanjutkan keturunan dia, Imam Sayyid Abdurrahman bin Sayyid Ahmad Khairuddin.



B.   Kesultanan Banjar
[makam+sultan+suriansyah.jpg]1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Banjar
Menurut mitologi suku Maanyan (suku tertua di Kalimantan Selatan), kerajaan pertama di Kalimantan bagian selatan adalah Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah Tabalong hingga ke daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebuah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar. Kerajaan ini mendapat serangan dari Majapahit. sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke pedalaman (wilayah suku Lawangan). Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20).
       Menilik dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan Tabalong/Kerajaan Tanjungpuri usianya lebih tua 600 tahun dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur.
       Menurut Hikayat Sang Bima, wangsa yang menurunkan raja-raja Banjar adalah Sang Dewa bersaudara dengan wangsa yang menurunkan raja-raja Bima (Sang Bima), raja-raja Bali (Sang Kuala), raja-raja Dompu(Darmawangsa), raja-raja Gowa (Sang Rajuna) yang merupakan lima bersaudara putera-putera dari Maharaja Pandu Dewata.[20][21]
Sesuai Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), di Kalimantan telah berdiri suatu pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang terus menerus berlanjut hingga daerah ini digabungkan ke dalam Hindia Belanda pada 11 Juni 1860, yaitu :
a.         Keraton awal disebut Kerajaan Kuripan
b.        Keraton I disebut Kerajaan Negara Dipa
c.         Keraton II disebut Kerajaan Negara Daha
d.        Keraton III disebut Kesultanan Banjar
e.         Keraton IV disebut Kerajaan Martapura/Kayu Tangi
f.         Keraton V disebut Pagustian
       Maharaja Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar penggantinya adalah cucunya Raden Samudera, anak dari putrinya Puteri Galuh Intan Sari. Ayah dari Raden Samudera adalah Raden Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan, saudara Maharaja Sukarama. Wasiat tersebut menyebabkan Raden Samudera terancam keselamatannya karena para putra Maharaja Sukarama juga berambisi sebagai raja yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung.
       Dibantu oleh Arya Taranggana, Pangeran Samudra melarikan diri dengan sampan ke hilir sungai Barito. Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya digantikan Pangeran Tumenggung yang juga putra Sukarama. Pangeran Samudra yang menyamar menjadi nelayan di daerah Balandean dan Kuin, ditampung oleh Patih Masih di rumahnya. Oleh Patih Masih bersama Patih Muhur, Patih Balitung diangkat menjadi raja yang berkedudukan di Bandarmasih.
       Pangeran Tumenggung melakukan penyerangan ke Bandarmasih. Pangeran Samudra dibantu Kerajaan Demak dengan kekuatan 40.000 prajurit dengan armada sebanyak 1.000 perahu yang masing-masing memuat 400 prajurit mampu menahan serangan tersebut.[4]) Akhirnya Pangeran Tumenggung bersedia menyerahkan kekuasaan Kerajaan Negara Daha kepada Pangeran Samudra. Kerajaan Negara Daha kemudian dilebur menjadi Kesultanan Banjar yang beristana di Bandarmasih. Sedangkan Pangeran Tumenggung diberi wilayah di Batang Alai.
       Pangeran Samudra menjadi raja pertama Kerajaan banjar dengan gelar Sultan Suriansyah. Ia pun menjadi raja pertama yang masuk islam dibimbing oleh Khatib Dayan.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Banjar
       Awal masuknya pengaruh agama Islam di Banjarmasin pada abad ke XV  melalui jalur perdagangan. Pengaruh Islam ini dibawa oleh pedagang- pedagang muslim seperti Raden Paku. Pemeluk agama Islam pertama diperkirakan adalah golongan pedagang dan masyarakat yang tinggal di bandar-bandar pelabuhan yaitu orang-orang Melayu dan orang-orang Ngaju. Agama Islam resmi sebagai agama Kerajaan Banjarmasin pada abad ke XVI, yaitu pada tanggal 24 September 1526 melalui Kerajaan Demak. Penerimaan agama ini terjadi pada masa pemerintahan Pangeran Samudera yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Banjar
       Islam kemudian berkembang dengan pesat dibawah pemerintahan Sultan Suriansyah, perkembangan ini meliputi struktur organisasi pemerintahan, sosial budaya dan penyebaran pengaruh agama Islam ke wilayah kekuasaan Kerajaan Banjarmasin. Perkembangnya yang sama juga terjadi pada masa Sultan Tahmidullah II dengan berdirinya tempat pendidikan pengajian pertama. Mengenai bukti-bukti berkembangnya Islam di Kerajaan Banjarmasin dapat di lihat dari peninggalan-peninggalan sejarah antara makam raja-raja Banjarmasin, peninggalan seni budaya seperti seni sastra dan seni arsitektur rumah adat Banjar yang dipengaruhi oleh unsur-unsur Islam.



C.   Kesultanan Kotawaringin
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Kotawaringin
Kotawaringin merupakan salah satu  kerajaan Islam yang wilayah intinya sekarang yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah. Kerajaan ini bagian dari kepangeranan cabang Kesultanan Banjar. Menurut catatan istana al-Nursari yang terletak di Kotawaringin Lama, kerajaan ini didirikan pada tahun 1615 atau 1530.
       Pada tahun 1637 Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin, dan pada tahun itupula dianggap pertama kalinya Kotawaringin diperintah seorang Raja sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah.
       Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding. Menurut perjanjian VOC-Belanda dengan Kesultanan Banjar, negeri Kotawaringin merupakan salah satu Negara dependensi (negara bagian) di dalam "negara Banjar Raya". Kotawaringin secara langsung menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar. Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para Pangeran (Pangeran Ratu) yang menjadi raja juga disebut dengan "Sultan".
       Kotawaringin merupakan nama yang disebutkan dalam Hikayat Banjar dan Kakawin Negarakretagama, seringpula disebut Kuta-Ringin, karena dalam bahasa Jawa, ringin berarti beringin.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Kotawaringin
          Pada abad ke-15, merupakan abad bercirikan penyebaran agama Islam. Walaupun kerajaan-kerajaan kecil Islam telah berdiri di pantai timur laut Sumatra sebelum tahun 1300, dan baru akhir abad ke-14 Raja Kutai menjadi pemeluk Islam pertama di Kalimantan. Demikian pula Islam di Sabah pada 1405 dan Brunei pada 1410, Malaka pada 1440, yang ketika itu ramai dikunjungi kapal-kapal dari Cina. Islam kemudian menyebar di pulau Jawa yang pada akhirnya menyebabkan jatunya Kerajaan Majapahit ke tangan Kesultanan Islam Demak pada permulaan abad ke 16, sementara itu, hubungan perdagangan berlangsung terus, dan pengaruh-pengaruh Jawa Hindu tampak di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kotawaringin, Kalimantan Tengah dan Sambas, Kalimantan Barat. Namun, di sisi lain, pengaruh Islam yang meningkat di Brunei menjadi suatu pusat baru penyebaran Islam, seluruh penduduk pantai akhirnya memeluk Islam. Di bawah Sultan Bolkiah dari Brunei, Islam pun menyebar ke Filipina, yang merupakan batas tumur pengaruh Islam.
       Pada awal abad ke-16 itu pula, Islam akhirnya menyebar ke Kalimantan. Semenjak itu pula, kerajaan-kerajaan Islam baru berdiri di Banjarmasin dan Pasir. Abad ke-16 ini merupakan zaman keemasan bagi Banjarmasin yang menguasai pantai-pantai Kalimantan sampai sejauh Sambas dan Sukasada di Barat, Kutai dan Berau di Timur. Brunei juga berkembang dan menguasai Pantai Utara, Sulu dan sebagian Palawan.
       Sementara itu, masuknya agama Islam ke Kotawaringin Timur tak bisa dilepaskan dari pengaruh Kerajaan Banjarmasin. Seperti diketahui, Kerajaan Sungai Sampit adalah vazal dari Kerajaan banjarmasin (lihat Traktat Karang Intan pada 1 Januari 1817). Bahkan, pada 1844, diketahui cukup banyak penduduk Kotawaringin Timur yang sudah memeluk agam Islam. Mereka bermukin di Sungai Mentaya seperti Tanah Hambau, Tangar, Kawan Batu, Pahirangan, Sumin, Balirik, Tangkaroba, Tambah, Pamintangan,dan Tumbang Kuayan (Masdipura; 2003).
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Kotawaringin
             Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Anum Kesumayuda Tuha (1767-1805 M), pihak kerajaan sudah memperhatikan pendidikan terutama untuk kerbat kesultanan. Wujud dari perhatian tersebut adalah dengan didirikannya pondok pesantren di Danau Gatal Kanan dan Danau Gatal Kiri ( desa Rungun sekarang).
       Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Sukma Alamsyah Sultan ke 13, di kota Pangkalan Bun berdiri sebuah sekolah desa yang disebut Volkschool sampai kelas III, dan sebuah sekolah sambungan yang disebut Vorvolkschool kelas V. sedangkan di luar kota Pngkalan Bun yaitu Kumai, Sukamara, Kotawaringin, Nanga Bulik, Perambangan, Kudangan, Kinipan, Tapin Bini dan Bayat masing-masing didirikan Volkschool.
       Menjelang kedatangan Jepang, sebagian besar sekolah-sekolah tersebut di bantu oleh badan swasta  yaitu yayasan Dayak Evangelis karena sekolah-sekolah swasta tidak mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda, guru-guru sekolah sekolah-sekolah tersebut orang-orang pribumi. Juga kesempatan untuk memperoleh pendidikan pada masa Hindia Belanda adalah hanya mereka yang mampu membayar uang sekolah saja.

D.   Kerajaan Pagatan
1.    Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Pagatan
Daerah Pagatan baru ada sekitar tahun 1750 dibangun oleh Puanna Dekke', hartawan asal Tanah Bugis tepatnya dari daerah Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan. Puanna Dekke' berlayar menuju Kesultanan Pasir, hatinya tidak berkenan sehingga menyusuri Kerajaan Tanah Bumbu (sekarang Kabupaten Kotabaru) dan belum menemukan daerah yang dapat dijadikan permukiman sampai dia menemukan sungai yang masuk dalam wilayah Kesultanan Banjar. Selanjutnya bertolaklah Puanna Dekke' menuju Banjarmasin untuk meminta izin kepada Sultan Banjar (1734) yaitu Panembahan Batu untuk mendirikan pemukiman di wilayah tersebut, yang kelak menjadi Kerajaan Pagatan. Pada akhirnya wilayah Kerajaan Pagatan dan Kerajaan Kusan disatukan menjadi semacam federasi dengan sebutan Kerajaan Pagatan dan Kusan dan rajanya disebut Raja Pagatan dan Kusan.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kerajaan Pagatan
       Islam di Kerajaan Pagatan memang sudah ada sebelum Kerajaan Pagatan lahir. Kerajaan Pagatan menjunjung tinggi adat budaya suku bugis, sangat erat dengan ritual religi islami, yang dikemas dalam sajian kesenian tradisional Masukkiri atau pelantunan riwayat Maulid Nabi Muhammad S.A.W, Shalat hingga Asmaul Husna dengan menggunakan alat rebbana jenis Terbang berukuran besar secara kolosal. Kemudian tradisi Silelung Botting, Mapanre Dewata dalam upacara pernikahan tradisional adat bugis, dan beragam adat budaya bugis lainnya yang selalu lestari di Tanah Bumbu.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Pagatan
       Islam di wilayah Pagatan sudah ada bermula dari Kerajaan Banjar, namun untuk wilayah Pagatan sendiri sangat erat dengan kebudayaan Bugis yang sangat erat dengan nilai-nilai keislaman.

E.   Kesultanan Sambas
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Sambas
Secara otentik Kerajaan Sambas telah eksis sejak abad ke 13 M yaitu sebagaimana yang tercantum dalam kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada masa Majapahit. Kemungkinan besar bahwa Kerajaan Sambas saat itu rajanya bernama Nek Riuh. Walaupun secara otentik Kerajaan Sambas tercatat sejak abad ke-13 M, namun demikian berdasarkan benda-benda arkeologis (berupa gerabah, patung dari masa Hindu) yang ditemukan selama ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan bahwa pada sekitar abad ke-6 M atau 7 M di wilayah ini diyakini telah berdiri sebuah kerajaan. Hal ini ditambah lagi dengan melihat posisi wilayah Sambas yang berhampiran dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas dunia, sehingga diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M di wilayah Sungai Sambas ini telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu lebih kurang bersamaan dengan masa berdirinya Kerajaan Batu Laras di hulu Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya Kerajaan Tanjungpura.
2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Sambas
       Asal usul Panembahan Sambas ini dimulai ketika satu rombongan besar Bangsawan Jawa hindu yang melarikan diri dari Pulau Jawa bagian timur karena diserang dan ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono (Sultan Demak ke-3) pada sekitar tahun 1525 M. Bangsawan Jawa hindu ini diduga kuat adalah Bangsawan Majapahit karena berdasarkan kajian sejarah Pulau Jawa pada masa itu yang melarikan diri pada saat penumpasan sisa-sisa hindu oleh pasukan Demak ini yang melarikan diri adalah sebagian besar Bangsawan Majapahit. Pada saat itu Bangsawan Majapahit lari dalam 3 kelompok besar yaitu ke Pulau Bali, ke daerah Gunung Kidul dan yang tidak cocok dengan kerajaan di Pulau Bali kemudian memutuskan untuk menyeberang lautan ke arah utara, rombongan inilah yang kemudian sampai di Sungai Sambas.
       Pada saat rombongan besar Bangsawan Jawa yang lari secara boyongan ini (diyakini lebih dari 500 orang) ketika sampai di Sungai Sambas di wilayah ini di bagian pesisir telah dihuni oleh orang-orang Melayu yang telah berasimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir. Raja Tan Unggal merupakan anak asuh dari Ratu Sapudak yang berhasil naik tahta dengan menyingkirkan putera dan puteri Ratu Sapudak yakni Bujang Nadi dan Dare Nandung yang dikuburkan hidup hidup dibukit Sebedang dengan tuduhan kedua bersaudara itu berniat kawin sesama saudara (lihat: Legenda Bujang Nadi Dare Nandung) Pada saat itu di wilayah ini sedang dalam keadaan kekosongan pemerintahan setelah terjadi kudeta rakyat dengan terbunuhnya Raja Tan Unggal secara tragis dengan dimasukkan kedalam peti dan petinya dibuang kedalam sungai Sambas (Lihat: dato’ Ronggo) dan sejak itu masyarakat Melayu di wilayah ini tidak mengangkat Raja lagi. Pada masa inilah rombongan besar Bangsawan Jawa ini sampai di wilayah Sungai Sambas ini sehingga tidak menimbulkan benturan terhadap rombongan besar Bangsawan Jawa yang tiba ini.
3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Sambas
       Masa Panembahan Sambas hindu yang berbeda keturunan (Dinasti / Nasab) dengan Kerajaan Sambas hindu itu, setelah masa Panembahan Sambas hindu itu dilanjutkan lagi masa pemerintahan Kesultanan Sambas dimana Kesultanan Sambas ini berbeda keturunan (Dinasti / Nasab) dengan Kerajaan Sambas hindu maupun Panembahan Sambas hindu, namun masih berkerabat, karena pendiri Kesultanan Sambas merupakan menantu di kerajaan Panembahan Ratu Sambas. Masa Pemerintahan Kesultanan Sambas inilah yang datanya jauh lebih jelas dan lengkap dibandingkan dengan masa-masa Kerajaan-Kerajaan Sambas sebelumnya. Keturunan dari Raja-Raja Kerajaan Sambas hindu dan Panembahan Sambas hindu telah hilang jejaknya, yang ada sekarang sebagai keturunan Kerajaan Sambas adalah dari Raja-Raja Kesultanan Sambas yang berkembang luas hingga sekarang ini.

1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura
Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), yaitu salah satu daerah taklukan di negara bagian Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit.
Pada abad ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.
Pada abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah beberapa puluh tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778) merupakan sultan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan nama Islami. Dan kemudian sebutan kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura
                     Pada abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah beberapa puluh tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778) merupakan sultan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan nama Islami. Dan kemudian sebutan kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura
       Pengaruh Islam sudah ada sejak pemerintahan Aji Raja Mahkota. Undang-Undang Dasar Kerajaan saat itu adalah “Panji Salaten” dan “Beraja Nanti”. Kedua Undang-Undang tersebut peraturannya disandarkan pada hukum Islam.

       1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Berau
Kesultanan Berau adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Kabupaten Berau sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-14 dengan raja pertama yang memerintah bernama Baddit Dipattung dengan gelar Aji Raden Suryanata Kesuma dan istrinya bernama Baddit Kurindan dengan gelar Aji Permaisuri. Pusat pemerintahannya berada di Sungai Lati, Kecamatan Gunung Tabur. Sejarahnya kemudian pada keturunan ke-13, Kesultanan Berau terpisah menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung. Sebelumnya daerah-daerah milik Berau yang telah memisahkan diri dan berdiri sendiri adalah Bulungan dan Tidung (kemudian ditaklukan Sultan Sulu).
       2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Berau
       Ajaran Islam mulai masuk dan berkembang di lingkungan Kerajaan Berau, diperkirakan pada era pemerintahan raja ke-6, yakni Aji Temanggung Barani (1557-1589). Pada masa tersebut, penerapan beberapa hukum islam mulai diberlakukan, meskipun Islam belum menjadi agama wajib Kerajaan. Ajaran Hindu dan Budha, yang merupakan bawaan dari kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, masih sangat kuat dianut oeh sebagian besar penduduk Berau.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Berau
                     Pada pemerintahan Sultan Muhammad Hasanuddin (1731-1767) dan Sultan Zainal Abidin (1779-1800), Islam menjadi agama mayoritas penduduk Berau. Gelar “Sultan” yang disandang raja (sebagai pengganti “Aji”) merupakan penanda bahwa Islam menjadi agama resmi kerajaan.



       1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Sambaliung
Kesultanan Sambaliung (sebelumnya bernama Kerajaan Tanjung) adalah kesultanan hasil dari pemecahan Kesultanan Berau, di mana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an. Sultan Sambaliung pertama adalah Sultan Alimuddin yang lebih dikenal dengan nama Raja Alam. Raja Alam adalah keturunan dari Baddit Dipattung atau yang lebih dikenal dengan Aji Suryanata Kesuma raja Berau pertama. Sampai dengan generasi ke-9, yakni Aji Dilayas. Aji Dilayas mempunyai dua anak yang berlainan ibu. Yang satu bernama Pangeran Tua dan satunya lagi bernama Pangeran Dipati.
Kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati (hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan pendapat yang bahkan kadang-kadang menimbulkan insiden). Raja Alam adalah cucu dari Sultan Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma.
Raja Alam adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan ibukota kerajaannya di Tanjung pada tahun 1810. (Tanjung Batu Putih kemudian menjadi kerajaan Sambaliung).
       2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Sambaliung
       Masuknya Islam di Sambaliung sejak Kesultanan Berau karena Kesultanan Sambaliung adalah kesultanan hasil dari pemecahan Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Sambaliung
       Pendirian Kesultanan ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang putra ulama keturunan Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah, pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinyaMasjid Jami Pontianak (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak diKelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak. Pendirian Kesultanan ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang putra ulama keturunan Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah, pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinyaMasjid Jami Pontianak (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak diKelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.
       Kesultanan Kadriah berkembang pesat karena didukung dengan adanya jalur pelayaran dan perdagangan yang menyebabkan banyaknya kapal nusantara dan asing yang datang ke pelabuhan tersebut untuk memasarkan berbagai jenis barang dagang. Di antara jenis barang yang dimaksud adalah: berlian, emas, lilin, rotan, tengkawang, karet, tepung sagu, gambir, pinang, sarang burung, kopra, lada, kelapa, dan sebagainya. Masyarakat Pontianak dikelompokkan secara sosial berdasarkan identitas kesukuan, agama, dan ras. Pengelompokan berdasarkan suku, yaitu: pertama, komunitas suku Dayak yang tinggal di daerah pedalaman. Komunitas ini dikenal tertutup, lebih mengutamakan kesamaan dan kesatuan sosio-kultural. Kedua, komunitas Melayu, Bugis, dan Arab, yang dikenal sebagai penganut Islam terbesar di daerah ini yang lebih menekankan aspek sosio-historis sebagai kelas penguasa. Ketiga, imigran Cina yang tinggal di daerah pesisir, yang dikenal sebagai satu kesatuan sosio-ekonomi.

       1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Gunung Tabur
Kesultanan Berau adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Kabupaten Berau (Kalimantan Timur) sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-14 dengan raja pertama yang memerintah bernama Baddit Dipattung dengan gelar Aji Raden Suryanata Kesuma dan istrinya bernama Baddit Kurindan dengan gelar Aji Permaisuri. Pusat pemerintahannya berada di Sungai Lati, Kecamatan Gunung Tabur.
Sejarahnya kemudian pada keturunan ke-13 (1810-an), Kesultanan Berau terpisah menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Gunung Tabur
       Masuknya Islam di Gunung Tabur sejak Kesultanan Berau karena Kesultanan Gunung Tabur adalah kesultanan hasil dari pemecahan Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Gunung Tabur
       Masjid Imanuddin dibangun bersamaan dengan dibangunnya istana kesultanan pada zaman pemerintahan Sultan Aji Pangeran Raja Muda Si Barakkat di abad ke-18. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika masyarakat Kalimantan Timur, khususnya kaum muslimin Tanjung Redeb, lebih mengenalnya sebagai Masjid Besar Varjtanan Gunung Tabur.
       Sebagaimana Kerajaan Islam di Nusantara, Kesultanan Gunung Tabur pun tidak melepaskan cirinya sebagai kerajaan Islam. Dan, Masjid raya Imanuddin yang berada dalam kompleks Kesultanan Gunung Tabur ini adalah bukti konkret mesranya hubungan agama dengan kekuasaan. Atau, dengan kata lain, kehadiran Masjid Raya Imanuddin yang berdampingan dengan istana kesultanan, semakin menegaskan asumsi bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan antara politik dan agama.
       Sesuai dengan asumsi tersebut tadi maka Masjid Raya Imanuddin pun tidak membatasi peranannya pada kegiatan ubudiyah semata. Pada zaman penjajahan, baik Belanda maupun Jepang, sama mencurigai aktivitas yang dilakukan di masjid ini telah digunakan para ulama untuk mengobarkan semangat anti penjajahan kepada kaum muslimin pada waktu itu.

       1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Pontianak
Kesultanan ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang putra ulama keturunan Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah, pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami Pontianak (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Pontianak
       Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Sultan Syarif Yusuf lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus merangkap sebagai penyebar agama Islam.
       Kesultanan Kadriah dipimpin oleh delapan sultan, yaitu sejak tahun 1771 hingga tahun 1950 sebagaimana berikut ini :
a.    Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie (1771-1808)
b.    Sultan Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819)
c.    Sultan Syarif Usman Alkadrie (1819-1855)
d.    Sultan Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872)
e.    Sultan Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895)
f.     Sultan Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944)
g.    Sultan Syarif Thaha Alkadrie (1944-1945)
h.    Sultan Syarif Hamid II Alkadrie (1945-1950)
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Pontianak
       Kesultanan Kadriah merupakan kerajaan terbesar di wilayah Kalimantan. Kesultanan Kadriah berkembang pesat karena didukung dengan adanya jalur pelayaran dan perdagangan. Proses ini juga berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat. Tidak sedikit dari para pendatang yang kemudian bermukim di daerah ini.
       Kegiatan perdagangan di Pontianak berkembang pesat karena letak Pontianak yang berada di persimpangan 3 sungai. Pontianak juga memiliki hubungan dagang yang luas.

       1.    Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Tidung
Kerajaan Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan Tarakan (Kalkan/Kalka) adalah kerajaan yang memerintah Suku Tidung di utara Kalimantan Timur, yang berkedudukan diPulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu. 
Sebelumnya terdapat dua kerajaan di kawasan ini, selain Kerajaan Tidung, terdapat pula Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di Tanjung Palas. Berdasarkan silsilah (Genealogy) yang ada bahwa, bahwa di pesisir timur pulauTarakan yakni, di kawasan binalatung sudah ada Kerajaan Tidung kuno (The Ancient Kingdom of Tidung), kira-kira tahun 1076-1156. 
Kemudian berpindah ke pesisir barat pulau Tarakan yakni, di kawasanTanjung Batu, kira-kira pada tahun 1156-1216. Lalu bergeser lagi, tetapi tetap di pesisir barat yakni, ke kawasan sungai bidang kira-kira pada tahun 1216-1394. Setelah itu berpindah lagi, yang relatif jauh dari pulau Tarakan yakni, ke kawasan Pimping bagian barat dan kawasan Tanah Kuning, yakni, sekitar tahun 1394-1557.
       Riwayat tentang kerajaan maupun pemimpin (Raja) yang pernah memerintah dikalangan suku Tidung terbagi dari beberapa tempat yang sekarang sudah terpisah menjadi beberapa daerah Kabupaten antara lain Kabupaten Bulungan (Salimbatu, Kecamatan Tanjung Palas Tengah), (Malinau Kota, Kabupaten Malinau) Sesayap, Kabupaten Tana Tidung, (Sembakung, Kabupaten Nunukan, (Kota Tarakan) dan lain-lain hingga ke daerah Sabah (Malaysia) bagian selatan.
2.    Proses Masuknya Islam di Kerajaan Tidung
       Tahun 1650 aktivitas perdagangan pindah ke sesayap dan sembakung.  Kerajaan tidung sembakung pindah ke pagar, atasnya sembakung. Kerajaan sesayap adalah cabang kerajaan tarakan, berkembang dari tiga penduduk yang berlokasi di menjelutung. Orang lokal sesayap padamulanya adalah suku Kepatal, yang telah lama terlupakan. Kemungkinan besar adalah bagian dari suku putuk.
       Sesayap juga dikatakan berada di bawah kekuasaan Berau. Berau pada waktu itu beraliansi dengan brunei melawan sulu. Lebih lanjut, mungkin seorang kepala suku kepatal, mulai menggunakan nama dayak yang tegas untuk semua keturunan raja tidung sesayap.
       Setelah suku Tausug dari sulu menduduki tarakan dan bersekutu dengan bulungan, saudara perempuan raja tidung tarakan menikah dengan seorang pangeran bulungan dan membawa tidung berada di bawah kuasa bulungan.
       Anak mereka yang bernama, Baginda, adalah yang pertama masuk islam. Dengan demikian itu adalah suatu perubahan yang hampir secara langsung dari kepemimpinan kepala adat dayak ke pemerintahan muslim. Namun bagaimanapun, koversi tersebut hanya terbatas pada kalangan bangsawan, sehingga sampai akhir tahun 1700an populasi Tidung belum mayoritas islam. 
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Tidung
Masyarakat suku Tidung mayoritas beragama Islam dan memiliki corak budaya Melayu, tetapi kehidupan suku Tidung masih memiliki unsur-unsur agama leluhurnya masuk didalam ritus dan adatnya baik itu dalam aspek perkawinan, kelahiran, atau pengobatan.
Orang Tidung pada mulanya mempercayai akan dewa-dewa yang mendiami Kayangan, gunung-gunung dan bukit-bukit, mereka percaya bahwa dewa ini mempunya kekuatan untuk menyembuhkan bermacam sakit penyakit – salah satu tempat keramat orang Dayak Berusu di Tana Tidung adalah Air terjun gunung Rian dan disana terdapat kuburan Dayak yang mirip dengan Sandung tempat menaruh tulang belulang orang yang dilakukan upacara secondary burial seperti yang dilakukan oleh Dayak Ngaju, Maanyan, Benuaq
Kehidupan masyarakat suku Tidung yang menarik adalah adat istiadatnya salah satunya saat bulan Syafar yang terdapat dalam kalender Penanggalan Hijriyah (Islam), menurut kepercayaan masyarakat suku kaum Tidung adalah bulan waktu diturunkannya malapetaka/bala. Jadi agar terhindar dari malapetaka/bala, maka setiap anak dari suku kaum Tidung yang lahir pada bulan safar haruslah mengadakan Tradisi Betimbang asebanyak tiga kali dimana pelaksanaan Tradisi Betimbang adalah pada setiap bulan Safar. Tatacara pelaksana sang Anak duduk di atas Timbangan yang telah dibuat sedemikian rupa, sementara kitab Suci Alqur'an, Sayur-sayuran, dan Makanan di simpan di atas timbangan lainnya, sehingga kedudukannya menjadi seimbang. setelah itu anak diturunkan, dan digantikan dengan sayur-sayuran dan buah-buahan yang lainnya.

       1.    Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Tidung Kuno
Berdasarkan silsilah (Genealogy) yang ada bahwa, bahwa dipesisir timur pulau Tarakan yakni, di kawasan binalatung sudah ada Kerajaan Tidung kuno (The Ancient Kingdom of Tidung), kira-kira tahun 1076-1156. Kemudian berpindah kepesisir barat pulau Tarakan yakni, di kawasan Tanjung Batu, kira-kira pada tahun 1156-1216. Lalu bergeser lagi, tetapi tetap dipesisir barat yakni, kekawasan sungai bidang kira-kira pada tahun 1216-1394. Setelah itu berpindah lagi, yang relatif jauh dari pulau Tarakan yakni, kekawasan Pimping bagian barat dan kawasan Tanah Kuning, yakni, sekitar tahun 1394-1557.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kerajaan Tidung Kuno
       Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 13091389. Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam keluar dari suku Dayak dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Tidung Kuno
       Penyebaran Islam saat itu melalui perkawinan karena berawal dari kehidupan yang berpencar dan berpindah-pindah. Beberapa orang suku Tidung berpindah-pindah dan kebanyakan dari mereka tidak lagi menggunakan bahasa nenek moyang mereka, tinggal dan hidup di Berau, Kutai (Kutai Lama, Sangkulirang, Sangatta) dan lainnya. Di Sabah bagian Barat ada kumpulan kecil yang memiliki adat di luar suku Tidung yang bukan Islam. Tapi bahasa mereka mirip dengan dialek Tarakan. Tidung Tarakan sendiri disebut Tenggara atau desa Raja Tara’ yang penduduknya bercampur dengan orang Kayan seperti halnya Melayu yang tidak menjadi pertimbangan mereka menjadi orang Tidung. Suku Tidung membaur dengan semua kelompok untuk bersama-sama membentuk pemerintahan pantai. Waktu itu, mereka lebih menyukai kawin dengan tetangga muslim seperti Sulu, Bugis, Brunei, dan Arab serta orang-orang Melayu lainnya.

       1.    Latar Belakang Lahirnya Dinasti Tengara
Dahulu kala kaum Suku Tidung yang bermukim di pulau Tarakan, populer juga dengan sebutan kaum Tengara, oleh karena mereka mempunyai pemimpin yang telah melahirkan Dynasty Tengara. Berdasarkan silsilah (Genealogy) yang ada bahwa, bahwa di pesisir timur pulau Tarakan yakni, di kawasan binalatung sudah ada Kerajaan Tidung kuno (The Ancient Kingdom of Tidung), kira-kira tahun 1076-1156.[3] Kemudian berpindah ke pesisir barat pulau Tarakan yakni, di kawasan Tanjung Batu, kira-kira pada tahun 1156-1216. Lalu bergeser lagi, tetapi tetap di pesisir barat yakni, ke kawasan sungai bidang kira-kira pada tahun 1216-1394. Setelah itu berpindah lagi, yang relatif jauh dari pulau Tarakan yakni, ke kawasan Pimping bagian barat dan kawasan Tanah Kuning, yakni, sekitar tahun 1394-1557.
       Kerajaan Dari Dynasty Tengara ini pertama kali bertakhta kira-kira mulai pada tahun 1557-1571 berlokasi di kawasan Pamusian wilayah Tarakan Timur.
       2.    Proses Masuknya Islam di Dinasti Tengara
       Dahulu kala kaum suku Tidung yang bermukim dipulau Tarakan, popular juga dengan sebutan kaum Tengara, oleh karena mereka mempunyai pemimpin yang telah melahirkan Dynasty Tengara.
      Proses masuknya Islam melalui suku Tidung yaitu melalui masyarakat Dayak. Suku Tidung masih berkerabat dengan suku Dayak rumpun Murut (suku-suku Dayak yang ada di Sabah). Karena suku Tidung beragama Islam dan mengembangkan kerajaan Islam sehingga tidak dianggap sebagai suku Dayak, tetapi dikategorikan suku yang berbudaya Melayu (hukum adat Melayu) seperti suku Banjar, suku Kutai, dan suku Pasir.
      
              1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Bulungan
Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, Kota Tarakan dan Tawau,Sabah sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril Mukminin (17311777), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958). Negeri Bulungan (Negeri Merancang) bekas daerah milik "negara Berau" yang telah memisahkan diri sehingga dalam perjanjian Kesultanan Banjar dengan VOC-Belanda dianggap sebagai bagian dari "negara Berau" (Berau bekas vazal Banjar yang diserahkan kepada VOC-Belanda).[4] Pada kenyataannya sampai tahun 1850, Bulungan berada di bawah dominasi Kesultanan Sulu.
              2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Bulungan
   Kesultanan Bulungan berada dibawah pengaruh Kesultanan Sulu. Kesultanan Sulu adalah sebuah pemerintahan Muslim yang pernah suatu masa dahulu menguasai Laut Sulu di Filipina Selatan. Kesultanan ini didirikan pada tahun 1450. Pada zaman kegemilangannya, negeri ini telah meluaskan perbatasannya dari Mindanao hingga bagian timur negeri Sabah. Dalam Kakawin Nagarakretagama, negeri Sulu disebut Solot, salah satu negeri di kepulauan Tanjungnagara (Kalimantan-Filipina) yaitu salah satu kawasan yang menjadi daerah pengaruh mandala kerajaan Majapahit di Nusantara. Negeri Sulu terletak di lepas pantai timur laut pulau Kalimantan.
   Pada tahun 1380, seorang ulama keturunan Arab, Karim ul-Makdum memperkenalkan Islam di Kepulauan Sulu. Kemudian tahun 1390, Raja Bagindo yang berasal dari Minangkabau melanjutkan penyebaran Islam di wilayah ini. Hingga akhir hayatnya Raja Bagindo telah mengislamkan masyarakat Sulu sampai ke Pulau Sibutu.
              3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Bulungan
       Pada saat Kesultanan Bulungan ini terkenal dengan perayaan Birau, yaitu pesta yang diadakan secara meriah oleh seluruh masyarakat. Perayaan Birau awalnya dilaksanakan pada masa Kesultanan Bulungan untuk memperingati syukuran khitanan anak raja-rajanya. Sebagai upaya untuk melestarikan adat istiadat, perayaan Birau tetap terus diselenggarakan.



BAB III
PENUTUP



A.   KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa awal mulanya Kerajaan Islam di Kalimantan terjadi karena Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha dapat ditaklukkan oleh kerajaan Islam sehingga agama Islam menyebar hingga ke seluruh Nusantara, salah satunya Kalimantan. Di Kalimantan, Kerajaan Islam juga menyebar akibat kekalah Kerajaan Hindu-Budha yang kemudian digantikan oleh Kerajaan Islam. Salah satu Pangeran yang berjasa dalam penyebaran Kerajaan Islam di Kalimantan Ialah Pangeran samudera. Hal itu terjadi karena pangeran Samudera menikahi seorang Puteri dari Kerajaan Hindu-Budha yang kemudian diIslamkanoleh Pengeran samudera dan hal itu mengakibatkan kemarahan dari saudara-saudara sang Puteri dan mengakibatkan terjadi perperangan dan pertumpahan darah. Dari sanalah kemudian muncul kerajaan-kerajaan Islam yang tersebar akibat kekalah kerajaan Hind-Budha tersebut.
Adapun Kerajaan-Kerajaan Islam yang ada di Kalimantan yaitu Kesultanan Pasir, Kesultanan Banjar, Kesultanan Kota Waringin, Kesultanan Beruk, Kesultanan Pontianak, Kerajaan Tidung, Kesultanan Sambas, Kesultanan Kertanegara, Kesultanan Sambaliung, Kesultanan Bulungan.
Proses masuknya Islam pada kerajaan di Kalimantan yaitu melalui :
1.      Jalur perdagangan
2.      Kehidupan yang berpindah-pindah
3.      Pernikahan
4.      Jalur pelayaran
5.      Adat Istiadat



B.   SARAN
Setelah beberapa paparan dan kesimpulan yang dijabarkan, saran yang dapat penulis sampaikan yaitu semoga dengan mengetahui sejarah perkembangan Islam di Kalimantan kita dapat menghormati dan menghargai hasil jerih payah mereka dalam menegakkan Islam di daerah Kalimantan walaupun harus berkorban nyawa dalam memerangi kerajaan Hindu-Budha yang pernah menguasai daerah-daerah di Kalimantan.


[1]  Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), h. 119-120.
[2]  Tjilik Riwut, h. 21.
[3]  Cilik Riwut. Kalimantan Membangun Alam dan kebudayaan, PT. Tiara Wacana Yogya, cetakan pertama 17 Agustus 1993 h. 119-120.
[4]  Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. h. 70

Tidak ada komentar: