BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Kita
tidak bisa melupakan sejarah apalagi tentang sejarah peradaban Islam, sebab
ilmu agama juga lahir pada jaman dulu, sedangkan jaman dulu adalah sejarah,
berarti ilmu agama tinggal sejarah. Oleh karena itu ilmu agama dan peradaban Islam
yang melahirkan pejuang-pejuang Islam sangat penting dipelajari karena ilmu
agama serta sejarah masuknya Islam diberbagai negeri harus dipelajari karena
ilmu agama atau sejarahnya tidak akan usang dimakan waktu.
Kami
selaku penyusun sangat senang dengan tugas makalah tentang kerajaan-kerajaan
Islam di Kalimantan, sebab proses masuknya Islam di Kalimantan sangat mudah
karena terdapat sungai Barito yang ramai dilalui. Perihal lain yang memudahkan
masuknya Islam di Kalimantan adalah karena berdekatan dengan Brunai Darussalam
dan Johor Malaysia. Jalur perdagangan yang telah memudahkan Islam masuk ke
wilayah Kalimantan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana latar belakang lahirnya setiap
kerajaan Islam di Kalimantan ?
2. Bagaimana proses masuknya Islam pada
kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan ?
3. Bagaimana pengaruh Islam pada kerajaan-kerajaan
Islam yang ada di Kalimantan ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Memahami
latar belakang lahirnya setiap kerajaan Islam di Kalimantan.
2. Mempelajari
proses masuknya Islam pada kerajaan-keraajn Islam di Kalimantan.
3. Mengetahui
pengaruh Islam pada kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan
D. MANFAAT PENULISAN
Adapun
manfaat penulisan kerajaan-kerajaan Islam adalah :
1.
Untuk mengatahui lintas peristiwa, waktu
dan kejadian yang berhubungan dengan kebudayaan Islam
2.
Untuk mengetahui tempat-tempat
bersejarah dan para tokoh yang berjasa dalam perkembangan Islam
3.
Untuk memahami bentuk peninggalan
bersejarah dalam kebudayaan Islam dari satu periode ke periode berikutnya.
4.
Mengambil hikmah setiap kejadian di masa
lampau untuk menembah ketakwaan kepada Allah SWT.
5.
Mengambil pelajaran dari sejarah sebagai
bahan pertimbangan ketika hendak membuat keputusan tentang suatu hal
6.
Mencari upaya antisipasi agar kekeliruan
pada masa lalu tidak terjadi lagi pada masa yang akan datang
7.
Dapat memahami dan meneladani
kisah-kisah yang baik pada zaman dahulu
8.
Menumbuhkan rasa cinta kepada kebudayaan
Islam yang merupakan buah karya kaum muslimin masa lalu
9.
Memahami berbagai hasil pemikiran dan
hasil karya para ulama untuk diteladani dalam kehidupan sehari hari.
BAB II
PEMBAHASAN
LATAR
BELAKANG, PROSES MASUKNYA ISLAM DAN PENGARUH ISLAM PADA KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM
DI KALIMANTAN
A. Kerajaan Pasir
1. Latar
Belakang Lahirnya Kerajaan Pasir
Dahulunya rakyat Dayak pasir dipimpin oleh kepala-kepala dari rakyat Dayak
sendiri. Ada seorang kepala suku Dayak yang sangat berpengaruh bernama
Temanggung Tokio, dia mengusulkan agar di daerah-daerah agar dikepalai oleh
seorang kepala saja dan untuk itu diminta sultan yang dekat tempat
tinggalnya. Kemudian mereka berangkat dengan perahu yang penuh bermuatan
emas dan perak yang akan dianugerahkan kepada raja yang baru, tetapi ia tak
mendapatkan seorang pun yang dipandang cakap. Temanggung Tokio sangatlah sedih
sampai ia tidak makan dan minum, kemudian di dalam mimpinya ia melihat seorang
yang tua yang berkata padanya: “Untuk mendapat raja engkau pergilah ke laut,
dan di situ engkau akan memperoleh sepotong bambu yang tiga ruasnya
terapung-apung di laut, ambillah bambu itu dan bungkus dengan sutra kuning, di
dalam bambu itu ada sebutir telur yang harus diberi asap dupa, menyan, dan
gaharu, dan dari telur itu nanti melahirkan raja perempuan”.
Temanggung Tokio pun menuruti
pesan orang tua dalam mimpinya, sesudah tiga hari tiga malam telur itu
didupakan, maka terbelah dualah bambu itu dan dari dalam telur itu pun pecah
pula dan dilahirkan seorang bayi puteri yang cantik jelita. Anak itu sama
sekali tidak mau menyusu, setelah berusaha dapatlah ia diberi makanan dengan
susu kerbau putih.
Puteri inilah yang diangkat menjadi Ratu Pasir, dan waktu ia berusia 15
tahun ia telah dinikahkan, tetapi malang sekali ia tidak dapat keturunan
sehingga harus diceraikan beberapa kali. Ketika dia telah menikah yang ketujuh
kali, masih belum juga mempunyai anak, kemudian datanglah seorang Arab dari
Jawa (Gresik) yang beragama Islam, terus ia dinikahkan dengan sang puteri.
Orang Arab tadi kemudian mencari tabib yang dapat membuang sari bambu yang ada
pada sang puteri sehingga bisa melahirkan dua puteri dan satu putera. Puteri
yang tertua (Putri Adjie Meter) kemudian menikah.[1]
Ajaran agama Islam masuk ke Kerajaan Pasir bersamaan dengan pernikahan antara
Putri Adjie Meter dengan seorang keturunan Arab dari Mempawah, Kalimantan Barat.
Suami dari Putri Adjie Meter inilah yang kemudian membawa pengaruh bahkan
menyebarkan ajaran agama Islam ke Kerajaan Pasir sekitar tahun 1600 M.[2]
2. Proses Masuknya Islam di Kerajaan Pasir
a.
Jalur perkawinan-perkawinan dilakukan oleh Abu Mansyur Indra Jaya dengan
Putri Petong, dari Kerajaan Paser raja komunitas Paser. Begitu juga perkawinan
Sayyid Ahmad Khairuddin yang kawin dengan Aji Mitir anak Putri Petong dengan
Abu Mansyur Indra Jaya.
b.
Jalur perdagangan sungai Kendilo merupakan sungai besar pada zaman mereka,
yang selalu dilalui para pedagang dari berbagai daerah Nusantara, termasuk
pedagang dari Arab. Interaksi antara masyarakat Kerajaan Paser dengan para
pedagang muslim menyebabkan sebagian masyarakat penduduk tertarik untuk memeluk
agarna Islam.
c.
Dalam sebuah cerita rakyat, Putri Petong sebelum kawin dengan Abu Mansyur
Indra Jaya, sudah beberapa kali kawin, akan tetapi jika akan berhubungan badan
dengan lelaki, jika tidak lari dari peraduan atau mati. Hal ini disebabkan sari
bambu yang melekat pada Putri Petong. Kawinlah dengan Abu Mansyur Indra Jaya
yang dapat menyembuhkan penyakit tersebut.[3]
3. Pengaruh
Islam pada Masa Kerajaan Pasir
Jauh sebelum mengenal agama, di daerah
Paser ini, masyarakat Paser mengenal kepercayaan animisme supernatural, syamanisme
dan sebagainya, mereka terikat dengan makhluk-makhluk halus, roh-roh halus,
kekutan-kekuatan gaib dan kekuatan-kekuatan sakti. Di daerah Paser, dikenal
dengan ilmu gaib, sebagai bentuk kepercayaan “Kuno” yang mempercayai adanya
kekuatan maha dasyat terdapat di alam semesta. Desa yang diartikan sebagai
penguasa tertinggi dalam kekuasaannya menguasai seluruh alam semesta, dalam
sistem ini terlihat dalam tata cara pelaksanaan untuk maksud-maksud tertentu,
misalkan pada saat pembukaan hutan untuk lahan perladangan atau persawahan,
menanam padi dan sebagainya yang dilaksanakan oleh seorang dukun / mulung, yang
mengetahui jampi-jampi atau soyong dalam bahasa Paser, diucapkan kata-kata
permohonan sesuai dengan yang diharapkan.
Sayyid Ahmad Khairuddin keturunan Arab yang diberi Gelar
Sayyid keturunan Arab kalangan Alawiyyah sebagai keturunan Nabi, dan mereka
menyebutkan diri sebagai "Ahlul Bayit” yang menjadi pengruh besar di
Kerajaan Pasir.
Di Kerajaan Paser sendiri sangat jelas bahwa Sayyid Ahmad
Khairuddin mendapat gelar Sayyid Imam Pawa. Sayyid Ahmad Khairuddin masih
berkaitan erat dengan Maulana Malik Ibrahim keturunan Zainal Abidin bin Husain
bin Ali R.A .
Beberapa lama tinggal di Kerajaan Paser akhimya Sayyid Ahmad
Khairuddin kawin dengan Aji Putri Mitir anak Putri Petong dengan Abu Mansyur
Indra Jaya. Saudara dari Aji Mas Pati Indra, bibi Aji Mas Anom Indra. Sumber
lain mengatakan bahwa yang menjadi Imam pada masa itu adalah Imam Mustafa (Vr,
sumber dari Aji Zainal Abidin dan kawan-kawan). Lebih kurang 15 tahun
menyiarkan agama Islam di Kerajaan Paser, Sayyid Ahmad Khairuddin menunaikan
ibadah haji. Sebelum berangkat haji, pada saat anak dia naik ayunan Sayyid
Ahmad Khairuddin menciptakan sebuah nyanyian yang dinamakan 'Nyanyian
Fatimah" dengan bait syair seperti berikut :
"Bismillahirrahmanirrahim"
Huu Allah, Allah wal Awwal, Allah Huu, wal Akhir
Huu Allah, Allah wal Awwal, Allah Huu, wal Akhir
Allah huu, Allah Allahu wal Bathin,
Allah Wadh-Dhahir
Allah huu, Allah maidandam ilham
Allahu huu Allahu, air zam-zam
karam di laut Bahaarullah.
Ayun-ayun silangka pulan
Ayun putra / putri ku jaya
Yaa hunaini silangka pulan
Wannahiruun-wannahiruun
Yaa hayyu yaa Qayyuum
Yaa hayyu yaa Qayyuum
Yaa hannanu yaa Burhan
Ketika Sayyid Ahmad Khairuddin yang menjadi guru dari raja
Paser Aji Mas Anom Indra diangkat menjadi imam di kerajaan Paser, Sareat Islam
pun diperlakukan dalam kerajaan Paser, sehingga Islam masuk dalam struktur
kekuasaan kerajaan Paser, sehingga islam menyebar dikalangan rakyat Paser.
Setelah Sayyid Ahmad Khairuddin menunaikan ibadah haji, rupanya takdir Allah
menghendaki Sayyid Ahmad Khairuddin di Makatul Musyarrafah. Siar Islam
dilanjutkan keturunan dia, Imam Sayyid Abdurrahman bin Sayyid Ahmad Khairuddin.
B. Kesultanan Banjar
1. Latar
Belakang Lahirnya Kesultanan Banjar
Menurut mitologi suku Maanyan
(suku tertua di Kalimantan Selatan), kerajaan pertama di Kalimantan bagian
selatan adalah Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah
kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah Tabalong
hingga ke daerah Pasir.
Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan
Kerajaan Nan Sarunai sebuah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis
Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar.
Kerajaan ini mendapat serangan dari Majapahit.
sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke pedalaman (wilayah suku Lawangan).
Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung
yang terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan
pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun
dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20).
Menilik
dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan Tabalong/Kerajaan
Tanjungpuri usianya lebih tua 600 tahun dibandingkan dengan Kerajaan Kutai
Martapura di Kalimantan Timur.
Menurut Hikayat Sang Bima,
wangsa yang menurunkan raja-raja Banjar adalah Sang Dewa
bersaudara dengan wangsa yang menurunkan raja-raja Bima (Sang Bima), raja-raja Bali
(Sang Kuala),
raja-raja Dompu(Darmawangsa), raja-raja Gowa (Sang Rajuna)
yang merupakan lima bersaudara putera-putera dari Maharaja Pandu
Dewata.[20][21]
Sesuai Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), di
Kalimantan telah berdiri suatu pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton)
yang terus menerus berlanjut hingga daerah ini digabungkan ke dalam Hindia Belanda
pada 11 Juni
1860, yaitu :
a.
Keraton awal disebut Kerajaan Kuripan
b.
Keraton I disebut Kerajaan Negara Dipa
c.
Keraton II disebut Kerajaan Negara Daha
d.
Keraton III disebut Kesultanan Banjar
e.
Keraton IV disebut Kerajaan Martapura/Kayu Tangi
f.
Keraton V disebut Pagustian
Maharaja
Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar penggantinya adalah cucunya Raden Samudera,
anak dari putrinya Puteri Galuh Intan Sari. Ayah dari Raden Samudera adalah
Raden Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan, saudara Maharaja Sukarama. Wasiat
tersebut menyebabkan Raden Samudera terancam keselamatannya karena para putra
Maharaja Sukarama juga berambisi sebagai raja yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran
Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung.
Dibantu
oleh Arya Taranggana, Pangeran Samudra melarikan diri dengan sampan ke hilir
sungai Barito.
Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya
digantikan Pangeran Tumenggung yang juga putra Sukarama. Pangeran Samudra yang
menyamar menjadi nelayan di daerah Balandean dan Kuin, ditampung oleh Patih
Masih di rumahnya. Oleh Patih Masih bersama Patih Muhur, Patih Balitung
diangkat menjadi raja yang berkedudukan di Bandarmasih.
Pangeran
Tumenggung melakukan penyerangan ke Bandarmasih. Pangeran Samudra dibantu Kerajaan Demak
dengan kekuatan 40.000 prajurit dengan armada sebanyak 1.000 perahu yang
masing-masing memuat 400 prajurit mampu menahan serangan tersebut.[4])
Akhirnya Pangeran Tumenggung bersedia menyerahkan kekuasaan Kerajaan Negara
Daha kepada Pangeran Samudra. Kerajaan Negara Daha kemudian dilebur menjadi
Kesultanan Banjar yang beristana di Bandarmasih. Sedangkan Pangeran Tumenggung
diberi wilayah di Batang Alai.
Pangeran
Samudra menjadi raja pertama Kerajaan banjar dengan gelar Sultan Suriansyah. Ia
pun menjadi raja pertama yang masuk islam dibimbing oleh Khatib Dayan.
2. Proses
Masuknya Islam di Kesultanan Banjar
Awal masuknya pengaruh agama Islam di
Banjarmasin pada abad ke XV melalui jalur perdagangan. Pengaruh Islam ini
dibawa oleh pedagang- pedagang muslim seperti Raden Paku. Pemeluk agama Islam
pertama diperkirakan adalah golongan pedagang dan masyarakat yang tinggal di
bandar-bandar pelabuhan yaitu orang-orang Melayu dan orang-orang Ngaju. Agama
Islam resmi sebagai agama Kerajaan Banjarmasin pada abad ke XVI, yaitu pada
tanggal 24 September 1526 melalui Kerajaan Demak. Penerimaan agama ini terjadi
pada masa pemerintahan Pangeran Samudera yang kemudian bergelar Sultan
Suriansyah.
3. Pengaruh
Islam pada Masa Kesultanan Banjar
Islam kemudian berkembang dengan pesat
dibawah pemerintahan Sultan Suriansyah, perkembangan ini meliputi struktur
organisasi pemerintahan, sosial budaya dan penyebaran pengaruh agama Islam ke
wilayah kekuasaan Kerajaan Banjarmasin. Perkembangnya yang sama juga terjadi
pada masa Sultan Tahmidullah II dengan berdirinya tempat pendidikan pengajian
pertama. Mengenai bukti-bukti berkembangnya Islam di Kerajaan Banjarmasin dapat
di lihat dari peninggalan-peninggalan sejarah antara makam raja-raja
Banjarmasin, peninggalan seni budaya seperti seni sastra dan seni arsitektur
rumah adat Banjar yang dipengaruhi oleh unsur-unsur Islam.
C. Kesultanan Kotawaringin
1. Latar
Belakang Lahirnya Kesultanan Kotawaringin
Kotawaringin
merupakan salah satu kerajaan Islam yang wilayah intinya sekarang yang
menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah. Kerajaan ini bagian
dari kepangeranan cabang Kesultanan Banjar. Menurut catatan istana al-Nursari
yang terletak di Kotawaringin Lama, kerajaan ini didirikan pada tahun 1615 atau
1530.
Pada tahun 1637 Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan
Kotawaringin, dan pada tahun itupula dianggap pertama kalinya Kotawaringin diperintah
seorang Raja sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar
versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan di antara isinya
tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah.
Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian yang dipimpin
oleh Dipati Ngganding. Menurut perjanjian VOC-Belanda dengan Kesultanan Banjar,
negeri Kotawaringin merupakan salah satu Negara dependensi (negara bagian) di
dalam "negara Banjar Raya". Kotawaringin secara langsung menjadi
bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan Kotawaringin selalu
memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar. Tetapi di dalam lingkungan
Kotawaringin sendiri, para Pangeran (Pangeran Ratu) yang menjadi raja juga
disebut dengan "Sultan".
Kotawaringin merupakan nama yang disebutkan dalam Hikayat
Banjar dan Kakawin Negarakretagama, seringpula disebut Kuta-Ringin, karena
dalam bahasa Jawa, ringin berarti beringin.
2. Proses
Masuknya Islam di Kesultanan Kotawaringin
Pada
abad ke-15, merupakan abad bercirikan penyebaran agama Islam. Walaupun
kerajaan-kerajaan kecil Islam telah berdiri di pantai timur laut Sumatra
sebelum tahun 1300, dan baru akhir abad ke-14 Raja Kutai menjadi pemeluk Islam
pertama di Kalimantan. Demikian pula Islam di Sabah pada 1405 dan Brunei pada
1410, Malaka pada 1440, yang ketika itu ramai dikunjungi kapal-kapal dari Cina.
Islam kemudian menyebar di pulau Jawa yang pada akhirnya menyebabkan jatunya
Kerajaan Majapahit ke tangan Kesultanan Islam Demak pada permulaan abad ke 16,
sementara itu, hubungan perdagangan berlangsung terus, dan pengaruh-pengaruh
Jawa Hindu tampak di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kotawaringin, Kalimantan
Tengah dan Sambas, Kalimantan Barat. Namun, di sisi lain, pengaruh Islam yang
meningkat di Brunei menjadi suatu pusat baru penyebaran Islam, seluruh penduduk
pantai akhirnya memeluk Islam. Di bawah Sultan Bolkiah dari Brunei, Islam pun
menyebar ke Filipina, yang merupakan batas tumur pengaruh Islam.
Pada awal abad ke-16 itu pula, Islam akhirnya menyebar ke
Kalimantan. Semenjak itu pula, kerajaan-kerajaan Islam baru berdiri di
Banjarmasin dan Pasir. Abad ke-16 ini merupakan zaman keemasan bagi Banjarmasin
yang menguasai pantai-pantai Kalimantan sampai sejauh Sambas dan Sukasada di
Barat, Kutai dan Berau di Timur. Brunei juga berkembang dan menguasai Pantai
Utara, Sulu dan sebagian Palawan.
Sementara itu, masuknya agama Islam ke Kotawaringin Timur tak
bisa dilepaskan dari pengaruh Kerajaan Banjarmasin. Seperti diketahui, Kerajaan
Sungai Sampit adalah vazal dari Kerajaan banjarmasin (lihat Traktat
Karang Intan pada 1 Januari 1817). Bahkan, pada 1844, diketahui cukup
banyak penduduk Kotawaringin Timur yang sudah memeluk agam Islam. Mereka
bermukin di Sungai Mentaya seperti Tanah Hambau, Tangar, Kawan Batu,
Pahirangan, Sumin, Balirik, Tangkaroba, Tambah, Pamintangan,dan Tumbang Kuayan
(Masdipura; 2003).
3. Pengaruh
Islam pada Masa Kesultanan Kotawaringin
Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Anum Kesumayuda
Tuha (1767-1805 M), pihak kerajaan sudah memperhatikan pendidikan terutama
untuk kerbat kesultanan. Wujud dari perhatian tersebut adalah dengan
didirikannya pondok pesantren di Danau Gatal Kanan dan Danau Gatal Kiri ( desa
Rungun sekarang).
Pada masa pemerintahan Pangeran
Ratu Sukma Alamsyah Sultan ke 13, di kota Pangkalan Bun berdiri sebuah sekolah
desa yang disebut Volkschool sampai kelas III, dan sebuah sekolah sambungan
yang disebut Vorvolkschool kelas V. sedangkan di luar kota Pngkalan Bun yaitu
Kumai, Sukamara, Kotawaringin, Nanga Bulik, Perambangan, Kudangan, Kinipan,
Tapin Bini dan Bayat masing-masing didirikan Volkschool.
Menjelang kedatangan Jepang,
sebagian besar sekolah-sekolah tersebut di bantu oleh badan swasta yaitu
yayasan Dayak Evangelis karena sekolah-sekolah swasta tidak mendapat subsidi
dari pemerintah Hindia Belanda, guru-guru sekolah sekolah-sekolah tersebut
orang-orang pribumi. Juga kesempatan untuk memperoleh pendidikan pada masa
Hindia Belanda adalah hanya mereka yang mampu membayar uang sekolah saja.
D. Kerajaan Pagatan
1. Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Pagatan
Daerah
Pagatan baru ada sekitar tahun 1750
dibangun oleh Puanna Dekke', hartawan asal Tanah Bugis tepatnya dari daerah Kerajaan Wajo,
Sulawesi Selatan. Puanna Dekke' berlayar menuju Kesultanan Pasir,
hatinya tidak berkenan sehingga menyusuri Kerajaan Tanah Bumbu (sekarang Kabupaten
Kotabaru) dan belum menemukan daerah yang dapat dijadikan permukiman sampai dia
menemukan sungai yang masuk dalam wilayah Kesultanan Banjar. Selanjutnya
bertolaklah Puanna Dekke' menuju Banjarmasin
untuk meminta izin kepada Sultan Banjar (1734) yaitu Panembahan Batu untuk mendirikan
pemukiman di wilayah tersebut, yang kelak menjadi Kerajaan Pagatan. Pada
akhirnya wilayah Kerajaan Pagatan dan Kerajaan Kusan disatukan menjadi semacam
federasi dengan sebutan Kerajaan Pagatan dan Kusan dan rajanya disebut Raja
Pagatan dan Kusan.
2. Proses
Masuknya Islam di Kerajaan Pagatan
Islam
di Kerajaan Pagatan memang sudah ada sebelum Kerajaan Pagatan lahir. Kerajaan
Pagatan menjunjung tinggi adat budaya suku bugis, sangat erat dengan ritual
religi islami, yang dikemas dalam sajian kesenian tradisional Masukkiri atau
pelantunan riwayat Maulid Nabi Muhammad S.A.W, Shalat hingga Asmaul Husna
dengan menggunakan alat rebbana jenis Terbang berukuran besar secara kolosal.
Kemudian tradisi Silelung Botting, Mapanre Dewata dalam upacara pernikahan
tradisional adat bugis, dan beragam adat budaya bugis lainnya yang selalu
lestari di Tanah Bumbu.
3. Pengaruh
Islam pada Masa Kerajaan Pagatan
Islam
di wilayah Pagatan sudah ada bermula dari Kerajaan Banjar, namun untuk wilayah
Pagatan sendiri sangat erat dengan kebudayaan Bugis yang sangat erat dengan
nilai-nilai keislaman.
E. Kesultanan Sambas
1. Latar
Belakang Lahirnya Kesultanan Sambas
Secara
otentik Kerajaan Sambas telah eksis sejak abad ke 13 M yaitu sebagaimana yang
tercantum dalam kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca
pada masa Majapahit.
Kemungkinan besar bahwa Kerajaan Sambas saat itu rajanya bernama Nek Riuh.
Walaupun secara otentik Kerajaan Sambas tercatat sejak abad ke-13 M, namun
demikian berdasarkan benda-benda arkeologis (berupa gerabah, patung dari masa Hindu) yang ditemukan
selama ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan bahwa pada sekitar abad
ke-6 M atau 7 M di wilayah ini diyakini telah berdiri sebuah kerajaan. Hal ini
ditambah lagi dengan melihat posisi wilayah Sambas
yang berhampiran dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas dunia, sehingga
diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M di wilayah Sungai Sambas ini
telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu lebih kurang bersamaan dengan masa
berdirinya Kerajaan Batu Laras di hulu Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya Kerajaan Tanjungpura.
2. Proses Masuknya Islam di Kesultanan Sambas
Asal usul Panembahan Sambas ini dimulai ketika satu rombongan
besar Bangsawan Jawa hindu yang melarikan diri dari Pulau Jawa bagian timur
karena diserang dan ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah pimpinan Sultan
Trenggono (Sultan Demak ke-3) pada sekitar tahun 1525 M. Bangsawan
Jawa hindu ini diduga kuat adalah Bangsawan Majapahit karena berdasarkan kajian
sejarah Pulau Jawa pada masa itu yang melarikan diri pada saat penumpasan
sisa-sisa hindu oleh pasukan Demak ini yang melarikan diri adalah sebagian
besar Bangsawan Majapahit. Pada saat itu Bangsawan Majapahit lari dalam 3
kelompok besar yaitu ke Pulau Bali, ke daerah Gunung Kidul dan yang tidak cocok
dengan kerajaan di Pulau Bali kemudian memutuskan untuk menyeberang lautan ke
arah utara, rombongan inilah yang kemudian sampai di Sungai Sambas.
Pada saat rombongan besar Bangsawan Jawa yang lari secara
boyongan ini (diyakini lebih dari 500 orang) ketika sampai di Sungai Sambas di
wilayah ini di bagian pesisir telah dihuni oleh orang-orang Melayu yang telah
berasimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir. Raja Tan Unggal merupakan anak
asuh dari Ratu Sapudak yang berhasil naik tahta dengan menyingkirkan putera dan
puteri Ratu Sapudak yakni Bujang Nadi dan Dare Nandung yang dikuburkan hidup
hidup dibukit Sebedang dengan tuduhan kedua bersaudara itu berniat kawin sesama
saudara (lihat: Legenda Bujang Nadi Dare Nandung) Pada saat itu di
wilayah ini sedang dalam keadaan kekosongan pemerintahan setelah terjadi kudeta
rakyat dengan terbunuhnya Raja Tan Unggal secara tragis dengan dimasukkan
kedalam peti dan petinya dibuang kedalam sungai Sambas (Lihat: dato’
Ronggo) dan sejak itu masyarakat Melayu di wilayah ini tidak mengangkat Raja
lagi. Pada masa inilah rombongan besar Bangsawan Jawa ini sampai di wilayah
Sungai Sambas ini sehingga tidak menimbulkan benturan terhadap rombongan besar
Bangsawan Jawa yang tiba ini.
3. Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Sambas
Masa Panembahan Sambas hindu yang berbeda keturunan (Dinasti / Nasab) dengan Kerajaan Sambas hindu
itu, setelah masa Panembahan Sambas hindu itu dilanjutkan lagi masa pemerintahan
Kesultanan Sambas dimana
Kesultanan Sambas ini berbeda keturunan (Dinasti / Nasab) dengan Kerajaan
Sambas hindu maupun Panembahan Sambas hindu, namun masih berkerabat, karena
pendiri Kesultanan Sambas merupakan menantu di kerajaan Panembahan Ratu Sambas.
Masa Pemerintahan Kesultanan Sambas
inilah yang datanya jauh lebih jelas dan lengkap dibandingkan dengan masa-masa
Kerajaan-Kerajaan Sambas sebelumnya. Keturunan
dari Raja-Raja Kerajaan Sambas hindu dan Panembahan Sambas hindu telah hilang
jejaknya, yang ada sekarang sebagai keturunan Kerajaan Sambas adalah dari
Raja-Raja Kesultanan Sambas yang berkembang luas hingga sekarang ini.
1. Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Kutai Kartanegara Ing
Martadipura
Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada
awal abad ke-13
di daerah yang bernama Tepian Batu
atau Kutai Lama (kini menjadi
sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni
Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini
disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), yaitu salah
satu daerah taklukan di negara bagian Pulau Tanjungnagara
oleh Patih Gajah Mada
dari Majapahit.
Pada
abad ke-16,
Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil
menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun
kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing
Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.
Pada abad ke-17,
agama Islam
yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan
diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah
beberapa puluh tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan.
Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778) merupakan sultan
Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan nama Islami. Dan kemudian sebutan
kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
2. Proses
Masuknya Islam di Kesultanan Kutai Kartanegara Ing
Martadipura
Pada abad ke-17,
agama Islam
yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan
diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah
beberapa puluh tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan.
Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778) merupakan sultan
Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan nama Islami. Dan kemudian sebutan
kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura
3. Pengaruh
Islam pada Masa Kesultanan Kutai Kartanegara Ing
Martadipura
Pengaruh
Islam sudah ada sejak pemerintahan Aji Raja Mahkota. Undang-Undang Dasar
Kerajaan saat itu adalah “Panji Salaten” dan “Beraja Nanti”. Kedua
Undang-Undang tersebut peraturannya disandarkan pada hukum Islam.
1. Latar
Belakang Lahirnya Kesultanan Berau
Kesultanan Berau adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Kabupaten Berau
sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-14
dengan raja pertama yang memerintah bernama Baddit Dipattung
dengan gelar Aji Raden Suryanata Kesuma dan istrinya bernama
Baddit Kurindan dengan gelar Aji Permaisuri. Pusat
pemerintahannya berada di Sungai Lati,
Kecamatan Gunung Tabur. Sejarahnya kemudian
pada keturunan ke-13, Kesultanan Berau terpisah menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung. Sebelumnya daerah-daerah
milik Berau yang telah memisahkan diri dan berdiri sendiri adalah Bulungan dan Tidung
(kemudian ditaklukan Sultan Sulu).
2. Proses
Masuknya Islam di Kesultanan Berau
Ajaran Islam mulai masuk dan berkembang
di lingkungan Kerajaan Berau, diperkirakan pada era pemerintahan raja ke-6,
yakni Aji Temanggung Barani (1557-1589). Pada masa tersebut, penerapan beberapa
hukum islam mulai diberlakukan, meskipun Islam belum menjadi agama wajib
Kerajaan. Ajaran Hindu dan Budha, yang merupakan bawaan dari kerajaan Sriwijaya
dan Majapahit, masih sangat kuat dianut oeh sebagian besar penduduk Berau.
3. Pengaruh
Islam pada Masa Kesultanan Berau
Pada
pemerintahan Sultan Muhammad Hasanuddin (1731-1767) dan Sultan Zainal Abidin
(1779-1800), Islam menjadi agama mayoritas penduduk Berau. Gelar “Sultan” yang
disandang raja (sebagai pengganti “Aji”) merupakan penanda bahwa Islam menjadi
agama resmi kerajaan.
1. Latar
Belakang Lahirnya Kesultanan Sambaliung
Kesultanan Sambaliung (sebelumnya bernama Kerajaan Tanjung) adalah kesultanan hasil
dari pemecahan Kesultanan Berau, di mana Berau dipecah menjadi
dua, yaitu Sambaliung dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an.
Sultan Sambaliung pertama adalah Sultan Alimuddin yang
lebih dikenal dengan nama Raja Alam. Raja Alam adalah keturunan dari Baddit Dipattung
atau yang lebih dikenal dengan Aji Suryanata Kesuma raja Berau
pertama. Sampai dengan generasi ke-9, yakni Aji Dilayas. Aji Dilayas
mempunyai dua anak yang berlainan ibu. Yang satu bernama Pangeran Tua dan
satunya lagi bernama Pangeran Dipati.
Kerajaan
Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan Pangeran
Dipati (hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan pendapat yang bahkan
kadang-kadang menimbulkan insiden). Raja Alam adalah cucu dari Sultan Hasanuddin
dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma.
Raja
Alam adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan ibukota
kerajaannya di Tanjung pada tahun 1810.
(Tanjung Batu Putih kemudian menjadi kerajaan Sambaliung).
2. Proses
Masuknya Islam di Kesultanan Sambaliung
Masuknya Islam di Sambaliung sejak Kesultanan
Berau karena Kesultanan Sambaliung adalah kesultanan hasil dari pemecahan
Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Gunung
Tabur pada sekitar tahun 1810-an.
3. Pengaruh
Islam pada Masa Kesultanan Sambaliung
Pendirian Kesultanan ini didirikan oleh
Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang putra ulama keturunan Arab Hadramaut dari
Kerajaan Mempawah, pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) yang
ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas
Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat
tinggal. Pada tahun1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak.
Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinyaMasjid Jami Pontianak (kini
bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang
terletak diKelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.
Pendirian Kesultanan ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang
putra ulama keturunan Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah, pada hari Rabu, 23
Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di
persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk
mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun1778 (1192 H),
Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak. Letak pusat
pemerintahan ditandai dengan berdirinyaMasjid Jami Pontianak (kini bernama Masjid
Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak
diKelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.
Kesultanan Kadriah berkembang pesat
karena didukung dengan adanya jalur pelayaran dan perdagangan yang menyebabkan
banyaknya kapal nusantara dan asing yang datang ke pelabuhan tersebut untuk
memasarkan berbagai jenis barang dagang. Di antara jenis barang yang dimaksud
adalah: berlian, emas, lilin, rotan, tengkawang, karet, tepung sagu, gambir,
pinang, sarang burung, kopra, lada, kelapa, dan sebagainya. Masyarakat
Pontianak dikelompokkan secara sosial berdasarkan identitas kesukuan, agama,
dan ras. Pengelompokan berdasarkan suku, yaitu: pertama, komunitas suku Dayak
yang tinggal di daerah pedalaman. Komunitas ini dikenal tertutup, lebih
mengutamakan kesamaan dan kesatuan sosio-kultural. Kedua, komunitas Melayu,
Bugis, dan Arab, yang dikenal sebagai penganut Islam terbesar di daerah ini
yang lebih menekankan aspek sosio-historis sebagai kelas penguasa. Ketiga, imigran
Cina yang tinggal di daerah pesisir, yang dikenal sebagai satu kesatuan
sosio-ekonomi.
1. Latar
Belakang Lahirnya Kesultanan Gunung Tabur
Kesultanan Berau adalah sebuah kerajaan yang pernah
berdiri di wilayah Kabupaten Berau (Kalimantan Timur) sekarang ini. Kerajaan
ini berdiri pada abad ke-14 dengan raja pertama yang memerintah bernama Baddit
Dipattung dengan gelar Aji Raden Suryanata Kesuma dan istrinya bernama Baddit
Kurindan dengan gelar Aji Permaisuri. Pusat pemerintahannya berada di Sungai
Lati, Kecamatan Gunung Tabur.
Sejarahnya kemudian pada keturunan ke-13 (1810-an), Kesultanan Berau terpisah menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung.
Sejarahnya kemudian pada keturunan ke-13 (1810-an), Kesultanan Berau terpisah menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung.
2. Proses
Masuknya Islam di Kesultanan Gunung Tabur
Masuknya Islam di Gunung Tabur sejak
Kesultanan Berau karena Kesultanan Gunung Tabur adalah kesultanan hasil dari
pemecahan Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung
dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an.
3. Pengaruh
Islam pada Masa Kesultanan Gunung Tabur
Masjid
Imanuddin dibangun bersamaan dengan dibangunnya istana kesultanan pada zaman
pemerintahan Sultan Aji Pangeran Raja Muda Si Barakkat di abad ke-18. Oleh
karenanya, tidak mengherankan jika masyarakat Kalimantan Timur, khususnya kaum
muslimin Tanjung Redeb, lebih mengenalnya sebagai Masjid Besar Varjtanan Gunung
Tabur.
Sebagaimana
Kerajaan Islam di Nusantara, Kesultanan Gunung Tabur pun tidak melepaskan
cirinya sebagai kerajaan Islam. Dan, Masjid raya Imanuddin yang berada dalam
kompleks Kesultanan Gunung Tabur ini adalah bukti konkret mesranya hubungan
agama dengan kekuasaan. Atau, dengan kata lain, kehadiran Masjid Raya Imanuddin
yang berdampingan dengan istana kesultanan, semakin menegaskan asumsi bahwa
dalam Islam tidak ada pemisahan antara politik dan agama.
Sesuai
dengan asumsi tersebut tadi maka Masjid Raya Imanuddin pun tidak membatasi
peranannya pada kegiatan ubudiyah semata. Pada zaman penjajahan, baik Belanda
maupun Jepang, sama mencurigai aktivitas yang dilakukan di masjid ini telah
digunakan para ulama untuk mengobarkan semangat anti penjajahan kepada kaum
muslimin pada waktu itu.
1. Latar
Belakang Lahirnya Kesultanan Pontianak
Kesultanan
ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang putra
ulama keturunan Arab Hadramaut
dari Kerajaan Mempawah, pada hari Rabu, 23 Oktober
1771 (14 Rajab 1185
H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai
Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai
tempat tinggal. Pada tahun 1778
(1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak.
Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami Pontianak (kini bernama Masjid
Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam
Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.
2. Proses
Masuknya Islam di Kesultanan Pontianak
Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai
satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Sultan
Syarif Yusuf lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus merangkap sebagai
penyebar agama Islam.
Kesultanan Kadriah dipimpin oleh delapan
sultan, yaitu sejak tahun 1771 hingga tahun 1950 sebagaimana berikut ini :
a. Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie
(1771-1808)
b. Sultan Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819)
c. Sultan Syarif Usman Alkadrie (1819-1855)
d. Sultan Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872)
e. Sultan Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895)
f. Sultan Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944)
g. Sultan Syarif Thaha Alkadrie (1944-1945)
h. Sultan Syarif Hamid II Alkadrie (1945-1950)
3. Pengaruh
Islam pada Masa Kesultanan Pontianak
Kesultanan Kadriah merupakan kerajaan
terbesar di wilayah Kalimantan. Kesultanan Kadriah berkembang pesat karena
didukung dengan adanya jalur pelayaran dan perdagangan. Proses ini juga
berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat. Tidak sedikit dari para
pendatang yang kemudian bermukim di daerah ini.
Kegiatan perdagangan di Pontianak
berkembang pesat karena letak Pontianak yang berada di persimpangan 3 sungai. Pontianak
juga memiliki hubungan dagang yang luas.
1. Latar
Belakang Lahirnya Kerajaan Tidung
Kerajaan
Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan Tarakan (Kalkan/Kalka) adalah
kerajaan yang memerintah Suku Tidung di utara Kalimantan Timur, yang
berkedudukan diPulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu.
Sebelumnya
terdapat dua kerajaan di kawasan ini, selain Kerajaan Tidung, terdapat pula
Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di Tanjung Palas. Berdasarkan silsilah
(Genealogy) yang ada bahwa, bahwa di pesisir timur pulauTarakan yakni, di
kawasan binalatung sudah ada Kerajaan Tidung kuno (The Ancient Kingdom of
Tidung), kira-kira tahun 1076-1156.
Kemudian berpindah
ke pesisir barat pulau Tarakan yakni, di kawasanTanjung Batu, kira-kira pada
tahun 1156-1216. Lalu bergeser lagi, tetapi tetap di pesisir barat yakni, ke
kawasan sungai bidang kira-kira pada tahun 1216-1394. Setelah itu berpindah
lagi, yang relatif jauh dari pulau Tarakan yakni, ke kawasan Pimping bagian
barat dan kawasan Tanah Kuning, yakni, sekitar tahun 1394-1557.
Riwayat tentang kerajaan maupun pemimpin
(Raja) yang pernah memerintah dikalangan suku Tidung terbagi dari beberapa
tempat yang sekarang sudah terpisah menjadi beberapa daerah Kabupaten antara
lain Kabupaten Bulungan (Salimbatu, Kecamatan Tanjung Palas Tengah), (Malinau
Kota, Kabupaten Malinau) Sesayap, Kabupaten Tana Tidung, (Sembakung, Kabupaten
Nunukan, (Kota Tarakan) dan lain-lain hingga ke daerah Sabah (Malaysia) bagian
selatan.
2. Proses Masuknya Islam di Kerajaan Tidung
Tahun 1650 aktivitas
perdagangan pindah ke sesayap dan sembakung.
Kerajaan tidung sembakung pindah ke pagar, atasnya sembakung. Kerajaan
sesayap adalah cabang kerajaan tarakan, berkembang dari tiga penduduk yang
berlokasi di menjelutung. Orang
lokal sesayap padamulanya adalah suku Kepatal,
yang telah lama terlupakan. Kemungkinan besar adalah bagian dari suku putuk.
Sesayap juga dikatakan berada di bawah kekuasaan
Berau. Berau pada waktu itu beraliansi dengan brunei melawan sulu. Lebih
lanjut, mungkin seorang kepala suku kepatal, mulai menggunakan nama dayak yang
tegas untuk semua keturunan raja tidung sesayap.
Setelah suku Tausug dari sulu menduduki tarakan dan
bersekutu dengan bulungan, saudara perempuan raja tidung tarakan menikah dengan
seorang pangeran bulungan dan membawa tidung berada di bawah kuasa bulungan.
Anak mereka yang bernama, Baginda, adalah yang pertama
masuk islam. Dengan demikian itu adalah suatu perubahan yang hampir secara
langsung dari kepemimpinan kepala adat dayak ke pemerintahan muslim. Namun
bagaimanapun, koversi tersebut hanya terbatas pada kalangan bangsawan, sehingga
sampai akhir tahun 1700an populasi Tidung belum mayoritas islam.
3. Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Tidung
Masyarakat
suku Tidung mayoritas beragama Islam dan memiliki corak budaya Melayu, tetapi
kehidupan suku Tidung masih memiliki unsur-unsur agama leluhurnya masuk didalam
ritus dan adatnya baik itu dalam aspek perkawinan, kelahiran, atau pengobatan.
Orang
Tidung pada mulanya mempercayai akan dewa-dewa yang mendiami Kayangan,
gunung-gunung dan bukit-bukit, mereka percaya bahwa dewa ini mempunya kekuatan
untuk menyembuhkan bermacam sakit penyakit – salah satu tempat keramat orang
Dayak Berusu di Tana Tidung adalah Air terjun gunung Rian dan disana terdapat
kuburan Dayak yang mirip dengan Sandung tempat menaruh tulang belulang orang
yang dilakukan upacara secondary burial seperti yang dilakukan oleh Dayak
Ngaju, Maanyan, Benuaq
Kehidupan
masyarakat suku Tidung yang menarik adalah adat istiadatnya salah satunya saat
bulan Syafar yang terdapat dalam kalender Penanggalan Hijriyah (Islam), menurut
kepercayaan masyarakat suku kaum Tidung adalah bulan waktu diturunkannya
malapetaka/bala. Jadi agar terhindar dari malapetaka/bala, maka setiap anak
dari suku kaum Tidung yang lahir pada bulan safar haruslah mengadakan Tradisi
Betimbang asebanyak tiga kali dimana pelaksanaan Tradisi Betimbang adalah pada
setiap bulan Safar. Tatacara pelaksana sang Anak duduk di atas Timbangan yang
telah dibuat sedemikian rupa, sementara kitab Suci Alqur'an, Sayur-sayuran, dan
Makanan di simpan di atas timbangan lainnya, sehingga kedudukannya menjadi
seimbang. setelah itu anak diturunkan, dan digantikan dengan sayur-sayuran dan
buah-buahan yang lainnya.
1. Latar
Belakang Lahirnya Kerajaan Tidung
Kuno
Berdasarkan
silsilah (Genealogy) yang ada bahwa, bahwa dipesisir timur pulau Tarakan
yakni, di kawasan binalatung sudah ada Kerajaan Tidung kuno (The Ancient
Kingdom of Tidung), kira-kira tahun 1076-1156. Kemudian berpindah kepesisir barat
pulau Tarakan yakni, di kawasan Tanjung Batu, kira-kira pada tahun 1156-1216.
Lalu bergeser lagi, tetapi tetap dipesisir barat yakni, kekawasan sungai bidang
kira-kira pada tahun 1216-1394. Setelah itu berpindah lagi, yang relatif jauh
dari pulau Tarakan yakni, kekawasan Pimping bagian barat dan kawasan Tanah
Kuning, yakni, sekitar tahun 1394-1557.
2. Proses
Masuknya Islam di Kerajaan Tidung
Kuno
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak
pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering
disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan
yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309–1389. Kejadian tersebut
mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk
daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak
Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal
dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).Sebagian besar suku Dayak
di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam keluar dari suku Dayak
dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut
dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai.
Sedangkan orang Dayak
yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim
di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Amas
dan Watang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam
kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah
seorang pimpinan Banjar Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat
menurut orang Dayak
adalah seorang Dayak.
3. Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Tidung Kuno
Penyebaran
Islam saat itu melalui perkawinan karena berawal dari kehidupan yang berpencar
dan berpindah-pindah. Beberapa orang
suku Tidung berpindah-pindah dan kebanyakan dari mereka tidak lagi menggunakan
bahasa nenek moyang mereka, tinggal dan hidup di Berau, Kutai (Kutai Lama,
Sangkulirang, Sangatta) dan lainnya. Di Sabah bagian Barat ada kumpulan kecil
yang memiliki adat di luar suku Tidung yang bukan Islam. Tapi bahasa mereka
mirip dengan dialek Tarakan. Tidung Tarakan sendiri disebut Tenggara atau desa
Raja Tara’ yang penduduknya bercampur dengan orang Kayan seperti halnya Melayu
yang tidak menjadi pertimbangan mereka menjadi orang Tidung. Suku Tidung
membaur dengan semua kelompok untuk bersama-sama membentuk pemerintahan pantai.
Waktu itu, mereka lebih menyukai kawin dengan tetangga muslim seperti Sulu,
Bugis, Brunei, dan Arab serta orang-orang Melayu lainnya.
1. Latar
Belakang Lahirnya Dinasti Tengara
Dahulu kala
kaum Suku Tidung
yang bermukim di pulau Tarakan, populer juga dengan sebutan kaum Tengara, oleh karena
mereka mempunyai pemimpin yang telah melahirkan Dynasty Tengara.
Berdasarkan silsilah (Genealogy) yang ada bahwa, bahwa di pesisir timur
pulau Tarakan
yakni, di kawasan binalatung sudah ada Kerajaan Tidung kuno (The Ancient Kingdom of
Tidung), kira-kira tahun 1076-1156.[3]
Kemudian berpindah ke pesisir barat pulau Tarakan
yakni, di kawasan Tanjung Batu, kira-kira
pada tahun 1156-1216. Lalu bergeser lagi,
tetapi tetap di pesisir barat yakni, ke kawasan sungai bidang kira-kira pada
tahun 1216-1394. Setelah itu
berpindah lagi, yang relatif jauh dari pulau Tarakan
yakni, ke kawasan Pimping bagian barat dan kawasan Tanah Kuning, yakni, sekitar
tahun 1394-1557.
Kerajaan Dari Dynasty Tengara ini pertama
kali bertakhta kira-kira mulai pada tahun 1557-1571 berlokasi di kawasan Pamusian wilayah Tarakan Timur.
2. Proses
Masuknya Islam di Dinasti Tengara
Dahulu
kala kaum suku Tidung yang bermukim dipulau Tarakan, popular juga dengan
sebutan kaum Tengara, oleh karena mereka mempunyai pemimpin yang telah
melahirkan Dynasty Tengara.
Proses masuknya Islam melalui suku Tidung yaitu melalui masyarakat
Dayak. Suku Tidung masih berkerabat dengan suku Dayak rumpun Murut (suku-suku Dayak
yang ada di Sabah). Karena suku Tidung beragama Islam dan mengembangkan kerajaan
Islam sehingga tidak dianggap sebagai suku Dayak, tetapi
dikategorikan suku yang berbudaya Melayu
(hukum adat Melayu) seperti suku Banjar, suku Kutai, dan suku Pasir.
1. Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Bulungan
Kesultanan Bulungan atau Bulongan
adalah kesultanan
yang pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Malinau,
Kabupaten Nunukan, Kota Tarakan
dan Tawau,Sabah sekarang. Kesultanan
ini berdiri pada tahun 1731,
dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril Mukminin (1731–1777), dan Raja Kesultanan
Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan Maulana
Muhammad Djalalluddin (1931-1958). Negeri Bulungan
(Negeri Merancang) bekas daerah milik "negara Berau" yang telah
memisahkan diri sehingga dalam perjanjian Kesultanan Banjar
dengan VOC-Belanda dianggap sebagai bagian dari "negara Berau"
(Berau bekas vazal
Banjar yang diserahkan kepada VOC-Belanda).[4]
Pada kenyataannya sampai tahun 1850, Bulungan
berada di bawah dominasi Kesultanan Sulu.
2. Proses Masuknya Islam di Kesultanan Bulungan
Kesultanan
Bulungan berada dibawah pengaruh Kesultanan Sulu. Kesultanan
Sulu adalah sebuah
pemerintahan Muslim yang pernah suatu masa dahulu menguasai Laut Sulu
di Filipina
Selatan. Kesultanan ini didirikan pada tahun 1450. Pada zaman
kegemilangannya, negeri ini telah meluaskan perbatasannya dari Mindanao
hingga bagian timur negeri Sabah.
Dalam Kakawin Nagarakretagama, negeri Sulu disebut
Solot, salah satu negeri di kepulauan Tanjungnagara (Kalimantan-Filipina) yaitu
salah satu kawasan yang menjadi daerah pengaruh mandala kerajaan Majapahit
di Nusantara.
Negeri Sulu terletak di lepas pantai timur laut pulau Kalimantan.
Pada tahun 1380, seorang ulama keturunan
Arab, Karim ul-Makdum memperkenalkan Islam di Kepulauan Sulu. Kemudian tahun
1390, Raja Bagindo yang berasal dari Minangkabau
melanjutkan penyebaran Islam di wilayah ini. Hingga akhir hayatnya Raja Bagindo
telah mengislamkan masyarakat Sulu sampai ke Pulau Sibutu.
3. Pengaruh
Islam pada Masa Kesultanan Bulungan
Pada saat Kesultanan Bulungan ini
terkenal dengan perayaan Birau, yaitu pesta yang diadakan secara meriah oleh
seluruh masyarakat. Perayaan Birau awalnya dilaksanakan pada masa Kesultanan
Bulungan untuk memperingati syukuran khitanan anak raja-rajanya. Sebagai upaya
untuk melestarikan adat istiadat, perayaan Birau tetap terus diselenggarakan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
awal mulanya Kerajaan Islam di Kalimantan terjadi karena Kerajaan-Kerajaan
Hindu-Budha dapat ditaklukkan oleh kerajaan Islam sehingga agama Islam menyebar
hingga ke seluruh Nusantara, salah satunya Kalimantan. Di Kalimantan, Kerajaan
Islam juga menyebar akibat kekalah Kerajaan Hindu-Budha yang kemudian
digantikan oleh Kerajaan Islam. Salah satu Pangeran yang berjasa dalam
penyebaran Kerajaan Islam di Kalimantan Ialah Pangeran samudera. Hal itu
terjadi karena pangeran Samudera menikahi seorang Puteri dari Kerajaan
Hindu-Budha yang kemudian diIslamkanoleh Pengeran samudera dan hal itu
mengakibatkan kemarahan dari saudara-saudara sang Puteri dan mengakibatkan
terjadi perperangan dan pertumpahan darah. Dari sanalah kemudian muncul
kerajaan-kerajaan Islam yang tersebar akibat kekalah kerajaan Hind-Budha
tersebut.
Adapun Kerajaan-Kerajaan Islam yang ada di Kalimantan
yaitu Kesultanan Pasir, Kesultanan Banjar, Kesultanan Kota Waringin, Kesultanan
Beruk, Kesultanan Pontianak, Kerajaan Tidung, Kesultanan Sambas, Kesultanan
Kertanegara, Kesultanan Sambaliung, Kesultanan Bulungan.
Proses masuknya Islam pada kerajaan di Kalimantan
yaitu melalui :
1.
Jalur perdagangan
2.
Kehidupan yang berpindah-pindah
3.
Pernikahan
4.
Jalur pelayaran
5.
Adat Istiadat
B. SARAN
Setelah beberapa paparan dan kesimpulan yang
dijabarkan, saran yang dapat penulis sampaikan yaitu semoga dengan mengetahui
sejarah perkembangan Islam di Kalimantan kita dapat menghormati dan menghargai
hasil jerih payah mereka dalam menegakkan Islam di daerah Kalimantan walaupun
harus berkorban nyawa dalam memerangi kerajaan Hindu-Budha yang pernah
menguasai daerah-daerah di Kalimantan.
[1] Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun Alam
dan Kebudayaan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), h. 119-120.
[2] Tjilik Riwut, h. 21.
[3] Cilik Riwut. Kalimantan Membangun Alam dan kebudayaan,
PT. Tiara Wacana Yogya, cetakan pertama 17 Agustus 1993 h. 119-120.
[4] Muljana,
Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan
Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT
LKiS Pelangi Aksara. h. 70
Tidak ada komentar:
Posting Komentar